Tantangan
Perekonomian Indonesia
Menurut buku World in Figure 2003, yang diterbitkan
oleh The Economist, USA, Indonesia adalah negara nomor 1 di dunia dalam
menghasilkan lada putih, buah pala, kayu lapis, nenas dan LNG. Indonesia adalah
archipelago 13.000 pulau yang
memiliki perairan laut seluas 60 juta km2 dengan garis pantai
terpanjang di dunia, yaitu 81.000 kilometer. Dari wilayah yang seluas itu,
potensi perikanan tangkap di Indonesia mencapai 6,26 juta ton pertahun.[1]
Indonesia juga memiliki hutan tropis terbesar ketiga di dunia yang menyumbang
sekitar 10% dari total luas hutan dunia.
Belum cukup sampai di sana,
Indonesia memiliki cadangan yang lebih dari cukup untuk kebutuhan mineral dan
logam nasional, bahkan internasional. Hingga saat ini Indonesia mampu memasok
sekitar 24% timah dari total kebutuhan dunia atau setara dengan 60.000 ton,
lalu merupakan produsen terbesar keempat dunia untuk komoditas tembaga, kelima
untuk komoditas nikel dan ketujuh untuk emas.[2]
Cadangan minyak kita diperkirakan masih ada hingga 45 milliar barel, kekayaan
batu bara kita merupakan yang keempat di dunia.[3]
Dari hal-hal yang ideal, impian,
dan harapan, kita akan berangkat kepada hal-hal yang menjadi kondisi nyata
perekonomian Indonesia sekarang. Segala hal yang ada, yang harus kita
selesaikan dan kita tuntaskan adalah merupakan tantangan ke depan yang harus
dihadapi.
Setidaknya ada empat hal yang
akan menjadi sorotan kita bersama terhadap perekonomian Indonesia setidaknya
untuk tiga sampai lima tahun ke depan. Kondisi itu adalah kondisi eksisting
tentang kemiskinan dan pengangguran di Indonesia, yang hingga saat ini masih
tergolong besar dan jauh dari harapan. Hal yang kedua adalah mengenai
kesenjangan sosial dan cita-cita pemerataan yang belum selesai hingga sekarang.
Permasalahan yang ketiga adalah terkait menurunnya kondisi dan kinerja sektor
industri terutama manufaktur di Indonesia, yang kita kenal dengan istilah
deindustrialisasi. Terakhir dan yang menjadi hal yang paling krusial adalah
paham ekonomi Indonesia yang semakin mengarah pada neoliberalisme.
Kemiskinan dan
pengangguran
Kemiskinan masih menjadi isu
hangat bahkan di banyak negara dunia. Kita sama-sama mengetahui bahwa di tahun
2000 lalu Indonesia sudah menyepakati MDG’s (Millenium Development Goals Strategy) yang salah satu poinnya
adalah pengentasan kemiskinan hingga 50% pada tahun 2015. Hal ini menandakan
bahwa memang kemiskinan masih menjadi musuh bersama bangsa ini.
Tingkat kemiskinan di Indonesia
masih berkisar pada angka 32,53 juta penduduk di tahun 2009, atau masih sekitar
14,15% penduduk negeri ini.[4]
Hal telak dan ironis mengingat negeri kita digadang-gadang sebagai negeri yang
kaya. Gemah ripah loh jinawi. Padahal,
tingkat kemiskinan ini adalah tingkat kemiskinan yang menggunakan standar Indonesia,
yaitu dengan pendapatan sekitar Rp200.262,00 per bulan, atau sekitar Rp6.675,00
per hari. Kita akan menemukan angka yang jauh lebih besar jika kita mengikuti
PBB dalam memasang threshold
kemiskinan yang ada.
Fakta kembali menyebutkan bahwa
pada Oktober 2000, penduduk miskin Indonesia masih berkisar 38,7 juta jiwa atau
sekitar 19,14%.[5]
Dengan fakta menarik tersebut, kita dapat menemukan bahwa memang tingkat
penurunan angka kemiskinan terjadi, namun belum signifikan jika dibandingkan
dengan target MDG’s pada tahun 2015 nanti.
Pengangguran di Indonesiapun
serupa. Angka pengangguran yang besar, sekitar 9 – 10 juta jiwa, atau sekitar
10% usia produktif Indonesia, masih menjadi pekerjaan rumah yang harus
diselesaikan. Mayoritas pengangguran disebabkan karena minimnya keahlian,
bahkan ada yang sampai tidak punya keahlian dasar seperti membaca, menulis, dan
menghitung. Data historis menunjukkan bahwa ada peningkatan drastis dari tahun
2008 ke 2009 terhadap pengangguran yang belum pernah sekolah/tamat SD.[6]
Sebuah fakta di tengah
kecemerlangan sumber daya yang ada, bahwa ternyata kita masih tergolong kufur.
Melimpahnya sumber daya tidak membuat kita menjadi arif dan kemudian
meningkatkan efektivitas perekonomian untuk menjadikan kemiskinan sebagai musuh
utama yang harus dikurangi.
Kesenjangan versus
pemerataan
Riset Globe Asia (Mei 2008)
menobatkan Aburizal Bakrie, Mantan Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat
Kabinet Indonesia Bersatu, sebagai manusia terkaya di Indonesia dengan nilai
kekayaan US$ 9,2 miliar (Rp84,6 Triliun) dari total aset 150 orang terkaya di
Indonesia sebesar US$ 69,3 miliar (Rp637,3 triliun). Bandingkan nilai kekayaan
mereka dengan APBN 2008 sebesar Rp854,6 triliun, maupun anggaran penanggulangan
kemiskinan 2008 sebesar Rp 32 Triliun.
Nilai kekayaan seorang Aburizal
Bakrie bahkan lebih dari cukup untuk memenuhi anggaran penanggulangan
kemiskinan di Indonesia. Jika kita telaah, Teori Optimalitas Paretto bahkan
sudah sangat terbukti.[7]
Hampir 75% APBN negara pada tahun tersebut sama nilainya dengan kekayaan 150
orang di Indonesia, yang tidak sampai 1% penduduk Indonesia. 80% uang bukan dikuasai
oleh 20% penduduk, tetapi bahkan hanya sekitar 1% penduduk. Berdasarkan data
tersebut dapat dikatakan kesenjangan antara si kaya dan si miskin semakin
melebar.
Fakta menarik lain berbicara
mengenai pendapatan rata-rata per kapita masyarakat Indonesia yang mencapai
Rp24,3 juta per tahun, atau sekitar Rp2 juta per bulan, atau sekitar Rp67 ribu.[8]
Padahal kita sama-sama mengetahui bahwa masih ada sekitar 32 juta penduduk yang
berpendapatan hanya 10% (Rp6.675,00 per
hari) dari rata-rata pendapatan per kapita tersebut tiap harinya. Ironis, dan
sangat membuka mata kita bahwa memang kesenjangan sosial semakin besar dan
cita-cita tentang pemerataan hanya merupakan isapan jempol semata. Kita
nantinya dapat melihat bahwa makanan anjing peliharaan orang-orang kaya boleh
jadi jauh lebih bergizi ketimbang makanan orang-orang miskin di perkotaan
maupun di pedesaan.[9]
Fenomena
deindustrialisasi
Fenomena akhir-akhir ini, membawa kabar
buruk mengenai industrialisasi di Indonesia. Pertumbuhan industri manufaktur
sejak krisis 1998 turun begitu drastis. Industri manufaktur nonmigas selama
1987-1996 mengalami pertumbuhan rata-rata 12% per tahunnya, lebih tinggi
daripada pertumbuhan PDB. Antara tahun 2000-2008, industri manufaktur hanya
tumbuh rata-rata 5,7% per tahun, sedikit lebih tinggi dari rata-rata
pertumbuhan PDB (5,2%).[10]
Pada triwulan ketiga 2009 pertumbuhannya hanya 1,3 persen, tak sampai sepertiga
pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) yang mencapai 4,2 persen.[11]
Pada akhir 2009, nilai impor
Indonesia mencapai USD 10.299.947.949. Nilai ini sedikit menurun di awal 2010,
yaitu sekitar USD 9.490.458.938. Namun, mulai naik kembali pada Maret 2010,
hingga pada Juli, nilai impor telah mencapai sekitar USD 12.625.936.085.[12]
Tidak hanya itu, pada tahun 2008, neraca perdagangan Indonesia dan China
mengalami lonjakan balik yang drastis, mengakibatkan terjadinya defisit bagi
Indonesia sebesar USD 3,6 miliar. Padahal di tahun sebelumnya, Indonesia masih
memiliki nilai surplus USD 1,1 miliar. Lebih mengejutkan lagi apabila kita
melihat defisit perdagangan produk non migas Indonesia meroket dari USD 1,3
miliar di tahun 2007 menjadi USD 9,2 miliar di tahun 2008 (terjadi lonjakan
sekitar 600%). Antara Januari hingga Oktober 2009, defisit serupa telah
mencapai USD 3,9 miliar.[13]
Harapan tentang perekonomian Indonesia yang
berbasis sektor riil nampaknya akan menghadapi banyak tantangan berat
kedepannya. Fenomena deindustrialisasi benar-benar semakin terasa dampaknya
hingga sekarang, terutama setelah diberlakukan beberapa perjanjian dagang bebas
seperti ACFTA (ASEAN – China Free Trade
Agreement/Area). Jangan heran jika kedepannya kita akan mendapat julukan
negara pengimpor terbesar. Namun, itulah faktanya.
Neoliberalisme
Perekonomian
Sisi buruk neoliberalisme ada
pada kebebasan yang tidak terbatasi. Padahal hal ini sudah sedemikian dikritik
oleh Adam Smith.[14]
Di Indonesia, neoliberalisme mulai tercium sejak masuknya IMF. Hal ini semakin
parah pasca krisis 1998, dan hingga sekarang makin menjamur, bahkan di banyak
sektor, tidak hanya ekonomi. Kita mengenal adanya SAP (Structural Adjustment Program) dan Washington Concencus yang semakin memburamkan peran pemerintah yang
telah dibahas sebelumnya.
Salah satu peran yang ‘diserang’
adalah tentang kewajiban pemerintah menyediakan barang publik (public goods). Dalam UUD 1945 Pasal 33
Ayat 2 dan 3 dikemukakan bahwa negara menguasai cabang-cabang produksi yang
penting, serta bumi, air, dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai
oleh negara, bahkan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Dari
pasal ini kita sudah dapat menentukan bahwa barang-barang publik seperti tanah,
air, tambang, dan mineral yang terkandung dalam bumi seharusnya dikuasai oleh
negara. Jikalaupun negara mempunyai keterbatasan dalam mengelolanya, negara
berhak menunjuk institusi privat untuk mengelolanya, dan negara memberikan
insentif. Namun, batas pengelolaan ini harus diutamakan untuk kemakmuran
rakyat, dalam artian mendahulukan kepentingan bangsa ketimbang kepentingan
privat atau bahkan bangsa lain.
Tekanan politik dari pihak privat
dan asing telah membuat adanya overlap kepemilikan
publik menjadi kepemilikan privat. Kita dapat melihat contoh Blok Cepu atau
Gunting yang dikuasai oleh perusahaan asing dari Amerika ExxonMobil, atau Blok
Semai V yang ‘diberikan’ kepada Hess. Serupa, tembaga dan emas di Mimika, Papua
yang dikuasai Freeport. Sementara, kebijakan yang membuka lebar-lebar overlap ini sudah mulai diberlakukan
secara sistematis seperti pemberlakuan UU Migas pada tahun 2001, UU Ketenagalistrikan
tahun 2009, pengurangan subsidi secara terus menerus (bukan memperbaiki agar
tepat sasaran), dan lainnya.
Pihak asing berhasil mencampuri pembuatan/pengesahan sejumlah
undang-undang, bahkan dari mulai pembuatan draft
(rancangan)-nya. Akibatnya, sejumlah UU terindikasi semakin liberal, seperti UU BUMN (UU No. 19 Th.
2003), UU PMA (UU No. 25 Th. 2007), UU SDA (UU No. 7 Th. 2004), UU Kelistrikan
(UU No. 20 Th. 2002), UU Tenaga Kerja (UU No. 13 Th. 2003), UU Pelayaran (UU
No. 17 Th. 2008), UU Pengalihan Hutan Lindung menjadi Pertambangan (UU No. 19
Th. 2004), dan lainnya.
Dampak kepemilikan publik yang menjadi privat sangatlah berbahaya. Dampak yang dapat terlihat langsung adalah prioritas kemakmuran. Penguasaan negara menuntut prioritas kemakmuran ada pada bangsa sendiri, sedangkan penguasaan privat menuntut prioritas kemakmuran pada institusi privat tersebut. Sementara penguasaan asing jelas menuntut prioritas pada kemakmuran bangsa asing. Dampak lainnya adalah monopoli atau kenaikan harga barang tersebut, atau bahkan rentannya harga barang tersebut terhadap instabilitas yang disebabkan spekulan-spekulan yang beredar.[15]
[1] http://www.indonesia.go.id
[2] Berdasarkan pernyataan kepala subdit
industri logam, departemen perindustrian, Dani Ramdani, di Pangkalpinang, 17
Oktober 2008.
[3] Heppy Trenggono. Menjadi Bangsa Pintar. 2009. Jakarta: Republika Press.
[4] Badan Pusat Statistik. http://www.bps.go.id
[5] Abdullah Azwar Anas. Mengawal Negara Budiman. 2009. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
[6] Badan Pusat Statistik. http://www.bps.go.id
[7] Joseph E. Stiglitz. Dekade Keserakahan. 2003. Tangerang: Marjin Kiri.
[8] Badan Pusat Statistik. http://www.bps.go.id
[9] Samuelson, P.A.,
dan Nordbaus, W. D,. Macroeconomics.
14th ed. 1992. New York: McGraw-Hill, Inc.
[11] Artikel: Faisal Basri. Deindustrialisasi Benar-Benar Serius! 2009.
http://ekonomi.kompasiana.com.
[12] Badan
Pusat Statistik. 2010. http://www.bps.go.id.
[13] Artikel: Faisal Basri. ASEAN-China Free Trade Area dan Deindustrialisasi. 2010.
[14] Adam Smith. The Theory Of Moral Sentiments. 1754
[15] Dr. M. Umer Chapra, Islam dan Tantangan Ekonomi. 2000. Jakarta: Gema Insani Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar