Sabtu, 22 Januari 2011

Meneropong Perindustrian Nasional: Deindustrialisasi Kian Nyata

Meneropong Perindustrian Nasional: Deindustrialisasi Kian Nyata

Kondisi Umum

Memasuki era globalisasi dan perkembangan teknologi informasi, setiap negara dituntut untuk memperkuat pilar-pilar perekonomiannya. Perindustrian sebagai salah satu pilar ekonomi, yang dalam hal ini berkontribusi menyumbang PDB harus kuat. Sejak tahun 1967 hingga 2004, perekonomian Indonesia mengalami perubahan struktur yang sangat signifikan. Peranan sektor industri terhadap PDB meningkat dari 7,3% menjadi 28,1%. Hal ini diiringi dengan penurunan kontribusi sektor pertanian terhadap PDB dari 53,9% menjadi 14,3%. Tidak diragukan lagi bahwa Indonesia sudah masuk ke fase industrialisasi hingga tahun 2004.[1]

Namun sejak 2004 hingga 2009, kontribusi sektor industri terhadap PDB semakin menunjukkan tren penurunan. Departemen Perindustrian RI melaporkan bahwa kontribusi sektor industri terhadap PDB menurun dari 28,1% menjadi 27,34%. Tidak hanya itu, sektor industri semakin menunjukkan pertumbuhan minus, dari 6,38% di tahun 2004, menjadi 4,60%; 4,59%; 4,67%; 3,66%; dan 2,31% pada tahun 2009. Melihat kenyataan ini, banyak pengamat ekonomi mengindikasikan terjadinya “deindustrialisasi”. Hal ini juga ditunjukkan dengan penurunan kapasitas terpasang industri dari 80% menjadi 60%, penurunan jumlah unit usaha industri skala sedang dan besar, dan penurunan signifikan dari indeks produksi industri sedang dan besar.[2]

Deindustrialisasi yang terjadi semakin diperparah dengan sejumlah perdagangan bebas yang diikuti oleh Indonesia, seperti ASEAN – China Free Trade Agreement (ACFTA), Indonesia – Japan Economic Partnership Agreement (IJ-EPA), dan lainnya. Industri kita ibarat menghadapi lawan berat semacam China dan Jepang yang perindustriannya sudah sangat mumpuni. United Nations Industrial Development Organization (UNIDO) melaporkan bahwa China menduduki posisi pertama dalam kinerja industri di Asia Timur dan Tenggara, sedangkan Indonesia pada urutan ke-38. Tidak hanya itu, pertumbuhan nilai ekspor dan impor Indonesia dalam lima tahun terakhir tercatat 11,50% berbanding 24,47%.

Beberapa Contoh

Memang tidak semua cabang industri mengalami deindustrialisasi. Namun, gejala umum menunjukkan bahwa walaupun tidak semua, industri yang mengalami deindustrialisasi jauh lebih banyak dibandingkan yang tidak mengalami deindustrialisasi. Tabel berikut adalah laju pertumbuhan industri 2004 – 2009. Data ini diambil dari Badan Pusat Statistik RI. Kita dapat melihat mana bahwa hanya industri barang kayu dan hasil hutan yang menunjukkan gejala pertumbuhan, yaitu terus menanjak dari -2,07% sampai 2,44%. Industri alat angkut, mesin, dan peralatan mengalami pertumbuhan konstan, yaitu sekitar 9,7% dalam beberapa tahun tersakhir.
Sisanya, mayoritas cabang industri mengalami penurunan. Industri makanan, minuman, tembakau, tekstil, barang kulit, alas kaki, kertas, barang cetakan, pupuk, kimia, barang dari karet, semen, barang galian non logam, logam dasar, besi, baja, dan lainnya.

Dampak Buruk Deindustrialisasi

Setelah kita mengurai bagaimana tentang indikator dan penyebab terjadinya deindustrialisasi, kini kita akan membahas mengenai akibat deindustrialisasi yang terjadi di Indonesia. Dari beberapa sumber yang akan disebutkan kemudian, setidaknya dapat ditemukan empat akibat terjadinya deindustrialisasi. Pertama, semakin berpotensinya negara kita menjadi negara yang konsumtif. Hal ini nantinya dapat dibuktikan dengan neraca ekspor-impor dalam beberapa tahun belakangan ini. Kedua, meningkatkan ketergantungan kepada negara-negara pengekspor barang manufaktur. Ketiga, sulitnya melakukan reindustrialisasi. Keempat, tingkat penyerapan tenaga kerja menurun.

Melemahnya perindustrian Indonesia, ditambah dengan era perdagangan bebas yang sudah banyak diberlakukan sekarang tentunya membawa dampak pada semakin berpotensinya Indonesia menjadi negara konsumtif. Pasalnya, kebutuhan masyarakat terhadap suatu barang tentunya akan selalu ada, dan tarafnya akan selalu meningkat –dan harus ditingkatkan- dari waktu ke waktu.[3] Itulah sebabnya jika kebutuhan-kebutuhan tersebut tidak dapat dipenuhi oleh bangsa sendiri, akan menyebabkan negara ini menjadi negara yang akan membeli dari bangsa lain.

Pada akhir 2009, nilai impor Indonesia mencapai USD 10.299.947.949. Nilai ini sedikit menurun di awal 2010, yaitu sekitar USD 9.490.458.938. Namun, mulai naik kembali pada Maret 2010, hingga pada Juli, nilai impor telah mencapai sekitar USD 12.625.936.085.[4] Tidak hanya itu, pada tahun 2008, neraca perdagangan Indonesia dan China mengalami lonjakan balik yang drastis, mengakibatkan terjadinya defisit bagi Indonesia sebesar USD 3,6 miliar. Padahal di tahun sebelumnya, Indonesia masih memiliki nilai surplus USD 1,1 miliar. Lebih mengejutkan lagi apabila kita melihat defisit perdagangan produk non migas Indonesia meroket dari USD 1,3 miliar di tahun 2007 menjadi USD 9,2 miliar di tahun 2008 (terjadi lonjakan sekitar 600%). Antara Januari hingga Oktober 2009, defisit serupa telah mencapai USD 3,9 miliar.[5]

Menjadi negara konsumtif, yang juga menjadi negara pengimpor akan membawa dampak lain yang lebih berbahaya, yaitu ketergantungan kepada bangsa lain. Secara logika, melemahnya industri manufaktur Indonesia akan sejalan paralel dengan meningkatnya impor barang-barang produksi, jika memang kebutuhan-kebutuhan masyarakat tidak akan dikorbankan. Selama ini, kontribusi nilai dan berat ekspor Indonesia masih didominasi dari hasil industri primer, beberapa contohnya yaitu natural rubber, wood, plywood, chemical wood pulp, paper, paperboard, cotton yarn, fish, palm oil, coffee, cocoa beans, dan sebagainya.[6]

Tingkat ketergantungan Indonesia kepada negara lain dapat kita lihat dari tingkat impor negara-negara manufaktur besar yang selama ini menjalin hubungan dengan Indonesia. Negara-negara manufaktur besar itu antara lain adalah China. Nilai impor dari China hingga Maret 2010 bernilai rata-rata USD 1.416.486.811 dan terus meningkat hingga menyentuh USD 1.982.162.360 pada Juli 2010. Sementara impor dari US, hingga pertengahan 2010 ini mencapai sekitar USD 800 juta.[7] Nilai impor yang tinggi ini jauh di atas rata-rata impor negara lain yang hanya berkisar USD 66 juta.

Selanjutnya, deindustrialisasi juga dapat menyebabkan sulitnya reindustrialisasi. Reindustrialisasi atau menggairahkan kembali sektor industri bukanlah perkara mudah. Solusi koprehensif harus benar-benar diterapkan. Mulai dari solusi mikro berupa mempermudah investasi dan pemasaran, hingga langkah mikro berupa stabilisasi perekonomian.

Beberapa contoh industri yang mengalami deindustrialisasi adalah industri kertas dan barang cetakan, yang mengalami pertumbuhan minus sebesar 16,3%. Kemudian, tekstil, barang dari kulit, alat kaki, serta barang dari kayu dan hasil hutan yang tumbuh minus 10,3%, serta semen dan barang galian non-logam mengalami yang pertumbuhan minus 3,1%.[8] Tekstil, terutama merupakan komoditi ekspor manufaktur yang cukup diandalkan di Indonesia. Dari segi jumlah yang diekspor, tekstil selalu menempati urutan 3 – 5 barang manufaktur.[9] Tidak mudah untuk kembali melakukan pengembangan industri. Karena itu, butuh dukungan banyak pihak untuk membantu melakukan revitalisasi industri Indonesia.

Dampak terakhir, dan yang paling populis di masyarakat adalah terkait penyerapan tenaga kerja. Secara logika, penurunan jumlah industri, baik kecil maupun besar, membawa dampak pada menurunnya peluang kerja bagi masyarakat.

Industri manufaktur merupakan penyerap tenaga kerja formal terbesar. Deindustrialisasi mengakibatkan pekerja sektor formal semakin terdesak. Dalam beberapa tahun terakhir, persentase pekerja di industri manufaktur mengalami penurunan, dari 18,8 persen tahun 2005 menjadi 12,07 persen tahun 2009.[10] Hal inilah yang menyebabkan daya serap tenaga kerja sektor formal merosot. Penguatan industri manufaktur sehingga bisa meningkatkan daya serap tenaga kerja di sektor formal diyakini juga akan mempercepat penurunan angka kemiskinan.

Maka…

Deindustrialisasi semakin berpotensi membawa Indonesia pada dependensi. Jika hal ini terjadi, maka kemerdekaan Indonesia menjadi semu, karena hanya dicapai oleh kemerdekaan fisik saja. Kemerdekaan ekonomi menjadi hal yang semakin jauh dari harapan. Kita tidak bisa memakan apa yang kita tanam, tidak bisa memakai pakaian dari kapas kita sendiri, tidak bisa bepergian dengan logam yang ada di perut bumi kita sendiri, dan segala dependensi lainnya. Impian menjadi negara yang mandiri dan kuat tidak akan terealisasi jika terjadi deindustrialisasi.

Masalah ini bukan hanya dibebankan pada pemerintah, namun juga segenap kalangan masyarakat. Masyarakat biasa sebagai orang-orang yang bekerja pada sektor industri, mahasiswa yang akan memberi sumbangsih riset bagi sektor industri, kalangan pemodal yang akan membantu kebutuhan modal industri, dan lainnya sangat berperan penting dalam upaya minimasi fenomena deindustrialisasi. Namun, semua kembali lagi pada political will pemerintah untuk meningkatkan pertumbuhan sektor industri dan daya saingnya.

Simposium Perindustrian ITB 2011 kali ini ingin membuka sebesar-besarnya mata masyarakat Indonesia pada umumnya dan mahasiswa pada khususnya terhadap melemahnya sektor industri Indonesia, meneliti sebab-sebabnya, dan mencari upaya untuk membantu perkembangan kembali industri nasional. Dengan memanfaatkan potensi mahasisiswa berupa kritis, idealis, mempunyai basis keilmuan, dan jaringan yang banyak se-indonesia, diharapkan isu perindustrian nasional ini dapat memasuki orbit wacana mahasiswa Indonesia.

[1] Departemen Perindustrian RI. Laporan Pengembangan Sektor Industri 2009. 2009.
[2] Ibid
[3] M. Baqir Ash Shadr. Buku Induk Ekonomi Islam. 2008. Jakarta: Zahra Publishing House.
[4] Badan Pusat Statistik. 2010. http://www.bps.go.id.
[5] Artikel: Faisal Basri. ASEAN-China Free Trade Area dan Deindustrialisasi. 2010.
[6] Departemen Perdagangan Republik Indonesia. Tabel Perkembangan Nilai dan Volume 100 Jenis Barang Ekspor Utama Indonesia. 2009.
[7] Badan Pusat Statistik. 2010. http://www.bps.go.id.
[8] LP3ES. Titik Nadir Deindustrialisasi. 2008
[9] Departemen Perdagangan Republik Indonesia. Tabel Perkembangan Nilai dan Volume 100 Jenis Barang Ekspor Utama Indonesia. 2009.
[10] Badan Pusat Statistik. 2010. Badan Pusat Statistik. 2010. http://www.bps.go.id.

Tidak ada komentar: