Sabtu, 14 Juni 2008

Jalinan Cinta Hamba dan Allah

grabbed from http://fosma165.com/

Cinta adalah nutrisi hati, pelepas dahaga jiwa, penyejuk mata, kebahagiaan jiwa, cahaya akal, penyegar batin, puncak cita-cita dan harapan paling mulia. Kehidupan tanpa cinta adalah kematian. Cinta adalah cahaya, yang tanpanya seseorang bisa tersesat dalam lautan kegelapan. Cinta adalah obat penawar yang tanpanya seseorang akan diserang oleh berbagai macam penyakit. Cinta adalah kelezatan, yang tanpanya kehidupan seseorang akan dicekam oleh kerisauan dan penderitaan.

Bila napas kehidupan bisa berdenyut karena dilandasi oleh sebuah cinta, maka cinta hamba terhadap Allah merupakan nutrisi yang memberikan suntikan kekuatan tak terperi bagi seorang Mukmin, yang membuatnya bertahan dalam menghadapi gempuran zaman yang tiada henti melibasnya. Cinta inilah yang terus memompakan rasa optimisme yang besar pada sang Mukmin sehingga ia berhak meraih karunia Ilahi yang paling agung, yaitu cinta Allah ( mahabbatullah ).

Namun seorang hamba yang ingin dicintai oleh Allah tentu saja tidak tinggal diam dan menunggu saja anugerah dari langit. Tidak, sebaliknya ia harus proaktif memburu anugerah itu, yakni dengan berusaha untuk mencintai-Nya lebih dulu. Mencintai Allah ini juga bukan sekadar menjadi klaim belaka yang hanya menjadi pemanis bibir, namun harus ada usaha kongkret yang mencerminkan keinginan agung itu. Seorang hamba yang benar-benar cinta kepada Allah ini bisa dicirikan dalam hal-hal berikut; dia menginginkan pertemuan dengan Allah di surga, karena hati yang mencintai Sang Kekasih pasti ingin menyaksikan dan berjumpa dengan-Nya.

Ciri lainnya dari seorang hamba yang mencintai Allah adalah merasa nikmat dalam berkhalwat, bermunajat kepada Allah dan membaca Al-Qur ' an. Sabar terhadap hal-hal yang tidak disukai, mengutamakan Allah atas segala sesuatu, mendahulukan apa yang dicintai Allah atas apa yang dicintainya, baik lahir maupun batin. Selalu mengingat Allah, cemburu karena Allah, dan senang terhadap segala sesuatu yang menimpa dirinya dalam perjalanan menuju Kekasihnya. Mencintai kalam Allah, tobat yang dibarengi dengan khuaf (cemas) dan raja ' (harap). Menyesal, jika lupa mengingat Allah, lemah lembut kepada hamba Allah dan tegas kepada musuh-Nya.

Itulah ciri-ciri dari seorang hamba yang mencintai Allah. Kalau sudah ada usaha maksimal dari sang hamba untuk mencintai-Nya dengan mempraktikkan hal-hal di atas, maka ia punya harapan besar untuk meraih mahabbatullah (dicintai Allah), yang ditandai dengan adanya perlindungan dari dunia, pemeliharaan yang baik, dikaruniai sifat lemah lembut, diterima penduduk bumi, mendapat cobaan, dan mati dalam keadaan melakukan amal shalih.

Dalam hal ini, Nabi saw. bersabda: “ Jika Allah mencintai seorang hamba, maka ia akan memaduinya. ” Sahabat bertanya tentang ‘ memadui ' itu, dan Nabi menjawab, “ Diberi taufiq untuk beramal shalih saat ajalnya, sehingga ia disenangi tetangga dan orang sekitarnya ” (HR. Ahmad, Ibnu Majah, dan Hakim).

Pengenalan dan penyaksian hati akan nama-nama dan sifat-sifat Allah, remuk redam hati di hadapan Allah, berkhalwat dengan-Nya pada saat nuzul ilahi (turunnya Allah) di tengah malam. Nabi bersabda: “ Rabb kita (Allah SWT.) turun ke langit dunia tiap malam, hingga tersisa sepertiga malam terakhir. Kemudian Dia berfirman: siapa yang berdoa kepada-Ku akan Ku-kabulkan, siapa yang meminta kepada-Ku akan Ku-beri, dan siapa yang memohon ampunan akan Ku-ampuni ” (HR. Malik, dan lainnya).

Juga duduk-duduk dan bergaul dengan para pencinta Allah yang sejati, menjauhi segala hal yang bisa menghalangi hati dari Allah, mengikuti Nabi saw. dalam perbuatan, ucapan, dan akhlaknya, dan zuhud terhadap dunia.

Ada tiga formula yang bisa membantu tumbuhnya sikap zuhud ini. Pertama , kesadaran hamba bahwa dunia hanyalah naungan sementara, sekadar angan yang datang bertamu. Kedua , kesadaran hamba bahwa di balik dunia, ada yang lebih besar, lebih mulia dan lebih penting, yaitu kampung keabadian akhirat. Ketiga , kesadaran hamba bahwa sikap zuhud terhadap dunia tidak akan menghalangi apa yang telah ditakdirkan. Demikian pula ambisinya terhadap dunia tidak akan mampu mendatangkan sesuatu yang tidak ditakdirkan untuknya. Bila hal ini telah diyakini sepenuhnya hingga sampai pada tingkat ilmul-yaqin , maka ia akan mudah bersikap zuhud terhadap dunia. (Makmun Nawawi).

Tidak ada komentar: