Senin, 26 Juli 2010

Dan Perjuangan Kini Beralih Ke Pikiran

Dan Perjuangan Kini Beralih Ke Pikiran

Politik Etis (Ethische Politiek) yang diterapkan Belanda pada awalnya dinilai sangat sesuai dengan artinya, yaitu balas budi. Adalah Ratu Wihelmina yang memutuskan kebijakan ini dikarenakan desakan dan kritikan-kritikan dari beberapa tokoh, seperti Van Deventer. Politik ini memberlakukan tiga hal penting, yaitu:

1. Perbaikan dan pembangunan pengairan-pengairan dan bendungan.

2. Emigrasi atau transmigrasi ke daerah-daerah lain.

3. Perluasan dalam bidang pendidikan dan pengajaran.

Pada awalnya kebijakan tersebut banyak mendapat dukungan, tetapi pada keberjalanannya justru banyak kritik menyerang kebijakan tersebut. Hal ini dikarenakan kebijakan itu tidak murni untuk balas budi, tetap masih ada motif keuntungan dan kapitalisasi perekonomian. Hal ini bisa dilihat dari tujuan pembangunan pengairan-pengairan adalah pada akhirnya bukan membantu petani-petani tanam paksa, namun agar produktivitas pertanian pada tanah yang dikuasai Belanda dapat meningkat. Sementara penduduk pribumi, terutama petani, masih saja dipekerjakan sebagai pengolah tanah tersebut.

Juga kita bisa melihat dari kebijakan kedua tentang transmigrasi atau emigrasi ke daerah jajahan lainnya. Hal ini dilakukan bukan untuk membebaskan penduduk dari kerja paksa, atau melakukan pemerataan pertumbuhan penduduk. Ternyata, kepicikan Belanda terbukti dengan transmigrasi yang ditujukan untuk membuka daerah baru, tetapi tetap diberlakukan peraturan tanam paksa. Tanah-tanah tetap saja menjadi milik Belanda, dan kaum pribumi tetap saja menjadi pekerja paksa.

Sementara, perluasan pendidikan dan pengajaran menjadi kebijakan yang dinilai paling sesuai dengan balas budi Politik Etis. Memang sebelum politik ini, kondisi pendidikan dan pengajaran bagi pribumi sangatlah tidak diperhatikan. Van Deventer waktu itu mengemukakan, “sampai pada waktu-waktu yang terakhir, hampir ada kita memikirkan pendidikan kecerdasan dan penyempurnaan akal budi pekerti bangsa Bumiputera. Asal pajak dibayarkan, kewajiban rodi dan bertanam dilakukannya, asal kehidupan rakyat tidak sengsara, memadailah. Maka senanglah hati pemerintah”[1]. Namun, setelah politik ini mulai diberlakukan, maka segenap pengembangan pendidikan terus dilaksanakan.

Pembangunan sekolah-sekolah kala itu semakin marak dilakukan. Contohnya, pada tahun 1903 dibangun Volk School (Sekolah Desa). Sekolah ini mempunyai masa belajar 3 tahun, dengan kurikulum yang sudah dirancang sedemikian rupa oleh Belanda, seperti membaca, menulis, berhitung dalam bahasa Jawa, juga kerajinan tangan. Volk School adalah sekolah tingkat dasar yang dibangun di desa-desa, ini merupakan tipe sekolah sederhana dan murah. Sedangkan lanjutan dari sekolah ini adalah Vervolg School (Sekolah Lanjutan) dengan masa belajar 2 tahun.

Kelanjutan dari sekolah-sekolah ini adalah MULO (Meer Uitgebreid Leger Onderwijs) yang jika diibaratkan dengan kondisi kekinian adalah setingkat SMP. Juga dikenal AMS (Algemeene Middlebare School), yang setara dengan SMA. Ada lagi Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA) yang merupaka sekolah persiapan untuk menjadi pegawai pemerintahan. Contoh-contoh ini menunjukkan bahwa memang pemerintah Belanda saat itu sangat serius dalam mengembangkan pendidikan di Indonesia.

Tidak hanya sekolah-sekolah tua pada akhir abad 1800-an saja yang kemudian dikembangkan. Namun, pada awal 1900-an, mulai dibangun sekolah-sekolah dengan taraf pendidikan yang semakin tinggi. Banyak sekolah-sekolah tinggi yang dibangun seperti STOVIA (School tot Opleiding Van Inlandsche Artsen) atau yang sekarang dikenal dengan Fakultas Kedokteran UI dan TH (Technische Hogeschool te Bandung) yang menjadi cikal bakal ITB. Perlu diketahui bahwa sebenarnya STOVIA sudah didirikan pada sejak tahun 1849, namun belum bernama STOVIA. Status saat itu juga belum menjadi sekolah tinggi, hanya menjadi sekolah lanjutan setelah AMS atau MULO.

Pendidikan Untuk Keuntungan

Kebijakan pengembangan pendidikan dan pengembangan dari politik etis sebenarnya tidaklah murni atas dasar balas budi untuk kemudian memberdayakan masyarakat. Ada motif terselubung dari pengembangan pendidikan ini, yang tiada lain adalah ekonomi. Kita bisa melihat bagaimana kesejahteraan rakyat saat itu tetap tidak berkembang drastis saat pendidikan sudah berkembang[2].

Lulusan sekolah-sekolah yang ada saat itu kemudian direkrut oleh pemerintah kolonial Belanda untuk selanjutnya dijadikan tenaga birokrat sesuai dengan level pendidikannya. Tenaga birokrat ini nantinya menduduki jabatan-jabatan teknis di pemerintahan, mengabdi kepada pemerintahan Belanda. Seperti contohnya adalah OSVIA yang bertugas menyediakan pegawai pemerintah dari kalangan pribumi. Juga kita dapat mengambil contoh sekolah kesehatan yang dahulu didirikan tahun 1849 (cikal bakal STOVIA) ditujukan untuk menangani penyakit-penyakit yang menjangkit masyarkat waktu itu, terutama kaum petani dan penanam ladang. Pasalnya saat itu salah satu jenis penyakit yang paling menjadi momok adalah cacar. Saat itu, banyaknya penyakit ini lama kelamaan mengganggu produktivitas petani sehingga produk hasil bumi menurun.

Sekolah-sekolah teknik pada saat itu juga didirikan untuk melakukan pembangunan daerah jajahan, terutama infrastruktur yang menunjang perekonomian. TH saat itu didirikan untuk memenuhi kebutuhan tenaga teknis dikarenakan suplai insinyur dari Belanda saat itu berkurang diakibatkan terputusnya hubungan antara pemerintah kolonial Hindia-Belanda dengan Negara Belanda akibat Perang Dunia[3].

Pembangunan infrastruktur-infrastruktur penunjang perekonomian seperti jalan raya, rel kereta api, dan sarana penghubung lainnya dari daerah perkebunan hasil bumi ke pusat-pusat distribusi atau kota kecil marak dilakukan. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya jalur-jalur kereta api mati di Pulau Jawa. Jalur-jalur ini dibuat bukan untuk memberdayakan masyarakat, misalnya dengan menghubungkan kota satu dengan lainnya. Namun, untuk mempercepat ditribusi hasil perkebunan dan pertanian[4].

Pendidikan tetaplah diperuntukkan untuk penjajahan, untuk membuat rakyat saat itu terpaku hanya menjadi salah satu faktor produksi yang bernama manusia. Guru pribumi yang direkrut untuk mengajari peserta sekolah saat itu hanya diberikan sebidang tanah untuk dikelola sebagai imbalannya. Nasib yang sebenarnya sama juga dialami oleh para birokrat atau abdi pemerintahan dari kalangan pribumi waktu itu. Hanya saja, menjadi pegawai pemerintahan Belanda saat itu terkesan terhormat, mendapat sebutan “priayi”. Padahal, kita tetap saja menjadi pembantu bangsa lain, bukan untuk kesejahteraan masyarakat kita sendiri.

Kesadaran akan nasib bangsa pribumi yang terus menerus berada pada steady state pada kemelaratan dan kesejahteraan semu akhirnya menimbulkan kesadaran beberapa kaum terpelajar untuk kemudian melakukan sesuatu untuk membuat masyarakat sejahtera secara hakiki. Kesejahteraan yang hakiki saat itu harus tetap diawali dengan kemerdekaan dan kemandirian.

Inilah momentum utama perubahan metode perjuangan dari yang tadinya berbentuk perjuangan fisik menjadi perjuangan pemikiran. Kondisi zaman saat itu yang membuat masyarakat terbuai dengan “kesejahteraan semu” sudah tidak lagi memungkinkan untuk terus melakukan perjuangan fisik berupa peperangan dan pemberontakan. Karena, jika itu dilakukan, akan sangat sulit menggalang dukungan masyarakat yang sudah mulai tertidur dengan kondisi nyamannya. Kondisi konflik seperti ini, justru malah akan membuat umur integrasi semakin pendek, yaitu ketika pragmatisme masyarakat terganggu[5].

Adalah kaum terpelajar saat itu yang pertama kali menyadari hal ini. Kaum terpelajar ini tidak semata-mata berasal dari sekolah-sekolah Belanda, yang malah mendidik peserta sekolah saat itu untuk menjadi budak-budak yang dikemas dengan citra yang baik. Kaum terpelajar ini adalah kaum yang sadar akan kemerdekaan, sadar akan belenggu yang selama ini dibuat oleh pihak Kolonial Belanda untuk kemudian membebaskan masyarakat dari penjajahan ini. Sejenak kita jadi teringat sebuah makna pendidikan yang pernah dicetuskan oleh Paulo Freire yang mengatakan bahwa pendidikan seharusnya membebaskan[6].

Kaum terpelajar adalah saat itu orang-orang yang terus menerus berusaha membebaskan, memerdekakan, dan memandirikan rakyatnya dari penjajahan Belanda. Kita dapat mengetahui bahwa pada akhirnya kaum terpelajar itu membentuk kelompok-kelompok perjuangan pemikiran dan berusaha untuk menggalang sebanyak-banyaknya basis dukungan dari rakyat. Kita mengenal adanya Sarekat Dagang Islam (SDI) dan Budi Utomo, yang menjadi pelopor perubahan metode perjuangan bangsa ini.


[1] Baca: Akar Gerakan Muhammadiyah, Mohammad Damami, Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2000.

[2] Baca: Masyarakat Desa dalam Perubahan Zaman: Sejarah Diferensiasi Sosial di Jawa 1830-1980, Frans Husken, Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia, 1998.

[3] http://id.wikipedia.org/wiki/Institut_Teknologi_Bandung

[4] Ibid.

[5] Baca: Artikel Umur Integrasi kita, membongkar urat akar mitos: syariat Islam penyebab disintegrasi Nasional, Anis Matta.

[6] Pedagogy Of The Oppressed, Paulo Freire, New York: Continuum, 2007.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

terima kasih.syukron.thanks.blogx oke bgt.