Kata
Pengantar
Dalam sebuah bukunya, Dr. Hamka mengisahkan
tentang seorang sarjana di Amerika yang saat itu sedang wisuda di kampusnya,
dengan mendapat predikat cum laude.
Selama kuliahnya ia adalah sosok yang cerdas dan brilian. Semua elemen
kampusnya sudah mengetahui hal tersebut.
Namun, kejadian bermula sesaat setelah ia
menerima ijazahnya. Ketika itu, ia langsung melakukan tindakan yang bagi
sebagian orang mungkin tidak masuk akal: merobek ijazahnya. Hingga ijazah
tersebut benar-benar hancur. Lantas salah seorang guru besar bertanya padanya
dengan penuh heran, “mengapa engkau robek ijazahmu yang sangat membaggakan
tersebut?”
Dengan perasaan yang cukup miris, sarjana
tersebut menjawab, “saya merobek ijazah ini karena bagi saya ini tidak bisa
menjawab tiga pertanyaan yang berkecamuk dalam diri saya, yaitu saya ini
berasal dari mana? Untuk apa saya berada di dunia ini? Dan nantinya saya akan
ke mana?”. Lantas terdiamlah guru besar tersebut.
Kisah tersebut adalah kisah nyata, yang
mungkin sudah terjadi dan lenyap begitu saja seiring dengan bergantinya hari.
Kini, perputaran waktu dan zaman semakin
kompleks. Kemajuan teknologi, perkembangan ilmu pengetahuan, dan perubahan
sosial masyarakat adalah suatu hal yang saling berkorelasi. Kemajuan teknologi
memang membuat hidup ini serba mudah, namun kemudahan ini diiringi dengan
peningkatan kompleksitas hidup manusia. Manusia semakin disibukkan dengan
urusan-urusannya masing-masing, sibuk dengan dunianya, sibuk dengan
rutinitasnya. Sehingga di zaman sekarang semakin banyak kondisi yang bisa
membuat kita buram dengan makna kehidupan yang seperti ini.
Kerja yang menyibukkan. Itu mungkin istilah
yang tepat untuk mengibaratkan rutinitas manusia saat ini. Ketika
keadaan-keadaan tersebut membuat manusia tidak lagi mempunyai kesempatan untuk
merenung sejenak tentang makna kehidupannya di dunia ini. Ketika keadaan
tersebut membuat manusia tidak mampu lagi dapat menjawab tentang mengapa
dirinya harus melakukan hal tersebut. Ketika manusia tidak lagi mampu menjawab
ke mana ia setelah segala kesibukannya nantinya hilang dengan sangat cepat.
Kerja yang menyibukkan. Ketika seorang ibu
rela membuang anaknya yang baru dilahirkannya karena terjepit faktor ekonomi.
Ketika seorang anak dengan sadar atau tidak sadar membunuh ayahnya karena
sebuah friksi kecil. Ketika seorang pemimpin dengan serta merta tidur nyenyak
sementara rakyatnya tidur di emperan toko dengan berselimut kain tipis. Ketika
seorang penguasa rela melakukan kejahatan sistemik dan struktural,
menghilangkan nyawa rakyatnya tidak dengan tangannya, tetapi karena akalnya.
Dan ketika masalah lainnya terjadi, yang sebenarnya ini masalah yang penting,
namun perlahan dianggap biasa karena ketidakpedulian manusia lainnya.
Ketidakpedulian yang timbul karena semua pikirannya, bahkan mungkin sampai
hatinya, tersita untuk melakukan “kerja yang menyibukkan” tersebut.
Ada apa dengan dunia ini? Mengapa manusia
tidak lagi menjadi seorang manusia, atau diperlakukan layaknya seorang manusia?
Ketika tidur sudah bukan untuk istirahat
lagi, ketika pikiran penat dengan hilir mudik arus kehidupan, ketika hingar
bingar suara membuat telinga tidak bisa lagi peka terhadap tangisan seorang
manusia, ketika telinga sudah tidak lagi nyaman mendengar panggilan Tuhan,
ketika mata sudah terisi dengan cahaya-cahaya menyilaukan, sehingga putih dan
hitam sudahlah menjadi abu-abu, ketika mata lebih menyukai kegemerlapan
ketimbang temaram kehidupan.
Ada apa dengan dunia ini? Mengapa dunia
menghitam, kelabu, dan sebagiannya merah. Padahal dahulu ia hijau, biru, dan
sebagiannya kuning.
Distorsi makna hidup adalah sebuah
kecelakaan. Manusia kini jarang merenung, jarang berpikir mendalam, jarang
beruzlah, dan jarang bermuhasabah. Tangisan tidak lagi dianggap sebagai hal
yang menenangkan, sehingga tertawa sudah menjadi penggantinya. Hati yang dahulu
lembut dan bersih, kini mulai mati dan kelam. Yang terjadi hanya
pikiran-pikiran sempit, pendek, dan tertutup. Seperti ada tirai hitam yang
menghalangi ketika ingin keluar.
Mungkin kita sekarang butuh uzlah, mungkin
kita sekarang harus melihat sejenak, menyelam, dan kemudian memahami setiap
dinamika hidup kita. Menyelam adalah mencari sesuatu yang tersembunyi, mencari
sesuatu yang tertutup, namun pada hakikatnya ia bersinar. Seperti mutiara yang
ada di dasar laut, ada kalanya ia tersinari sinar mentari yang dengan susah
payah menembus kedalaman air, sehingga bersinarlah ia memantulkan cahayanya.
Namun terkadang juga permukaan laut yang gelap menghalangi mutiara tersebut
untuk memancarkan cahayanya.
Sinar matahari tetaplah pada rentang
frekuensinya, tetaplah pada rentang waktu penyinarannya, tetaplah pada
jalurnya, dan tetap pada ketetapannya.
Mari kita menyelami lebih dalam makna hidup
ini, uzlah sejenak untuk menghapus kelabunya hati, sejenak menjadi penawar dari
kerja yang menyibukkan, dan jadikan ini ibadah pada-Nya.
Allahu ghayatuna, sebuah orientasi, motto,
sekaligus makna. Dan mutiara itu kini di depan mata, tinggal bagaimana kita
menyelaminya.
“…Itulah
kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik
(surga).”
(QS. Ali ‘Imran, 3: 14)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar