Jumat, 16 Juli 2010

Kata Pengantar

Kata Pengantar

Dalam sebuah bukunya, Dr. Hamka mengisahkan tentang seorang sarjana di Amerika yang saat itu sedang wisuda di kampusnya, dengan mendapat predikat cum laude. Selama kuliahnya ia adalah sosok yang cerdas dan brilian. Semua elemen kampusnya sudah mengetahui hal tersebut.

Namun, kejadian bermula sesaat setelah ia menerima ijazahnya. Ketika itu, ia langsung melakukan tindakan yang bagi sebagian orang mungkin tidak masuk akal: merobek ijazahnya. Hingga ijazah tersebut benar-benar hancur. Lantas salah seorang guru besar bertanya padanya dengan penuh heran, “mengapa engkau robek ijazahmu yang sangat membaggakan tersebut?”

Dengan perasaan yang cukup miris, sarjana tersebut menjawab, “saya merobek ijazah ini karena bagi saya ini tidak bisa menjawab tiga pertanyaan yang berkecamuk dalam diri saya, yaitu saya ini berasal dari mana? Untuk apa saya berada di dunia ini? Dan nantinya saya akan ke mana?”. Lantas terdiamlah guru besar tersebut.

Kisah tersebut adalah kisah nyata, yang mungkin sudah terjadi dan lenyap begitu saja seiring dengan bergantinya hari.

Kini, perputaran waktu dan zaman semakin kompleks. Kemajuan teknologi, perkembangan ilmu pengetahuan, dan perubahan sosial masyarakat adalah suatu hal yang saling berkorelasi. Kemajuan teknologi memang membuat hidup ini serba mudah, namun kemudahan ini diiringi dengan peningkatan kompleksitas hidup manusia. Manusia semakin disibukkan dengan urusan-urusannya masing-masing, sibuk dengan dunianya, sibuk dengan rutinitasnya. Sehingga di zaman sekarang semakin banyak kondisi yang bisa membuat kita buram dengan makna kehidupan yang seperti ini.

Kerja yang menyibukkan. Itu mungkin istilah yang tepat untuk mengibaratkan rutinitas manusia saat ini. Ketika keadaan-keadaan tersebut membuat manusia tidak lagi mempunyai kesempatan untuk merenung sejenak tentang makna kehidupannya di dunia ini. Ketika keadaan tersebut membuat manusia tidak mampu lagi dapat menjawab tentang mengapa dirinya harus melakukan hal tersebut. Ketika manusia tidak lagi mampu menjawab ke mana ia setelah segala kesibukannya nantinya hilang dengan sangat cepat.

Kerja yang menyibukkan. Ketika seorang ibu rela membuang anaknya yang baru dilahirkannya karena terjepit faktor ekonomi. Ketika seorang anak dengan sadar atau tidak sadar membunuh ayahnya karena sebuah friksi kecil. Ketika seorang pemimpin dengan serta merta tidur nyenyak sementara rakyatnya tidur di emperan toko dengan berselimut kain tipis. Ketika seorang penguasa rela melakukan kejahatan sistemik dan struktural, menghilangkan nyawa rakyatnya tidak dengan tangannya, tetapi karena akalnya. Dan ketika masalah lainnya terjadi, yang sebenarnya ini masalah yang penting, namun perlahan dianggap biasa karena ketidakpedulian manusia lainnya. Ketidakpedulian yang timbul karena semua pikirannya, bahkan mungkin sampai hatinya, tersita untuk melakukan “kerja yang menyibukkan” tersebut.

Ada apa dengan dunia ini? Mengapa manusia tidak lagi menjadi seorang manusia, atau diperlakukan layaknya seorang manusia?

Ketika tidur sudah bukan untuk istirahat lagi, ketika pikiran penat dengan hilir mudik arus kehidupan, ketika hingar bingar suara membuat telinga tidak bisa lagi peka terhadap tangisan seorang manusia, ketika telinga sudah tidak lagi nyaman mendengar panggilan Tuhan, ketika mata sudah terisi dengan cahaya-cahaya menyilaukan, sehingga putih dan hitam sudahlah menjadi abu-abu, ketika mata lebih menyukai kegemerlapan ketimbang temaram kehidupan.

Ada apa dengan dunia ini? Mengapa dunia menghitam, kelabu, dan sebagiannya merah. Padahal dahulu ia hijau, biru, dan sebagiannya kuning.

Distorsi makna hidup adalah sebuah kecelakaan. Manusia kini jarang merenung, jarang berpikir mendalam, jarang beruzlah, dan jarang bermuhasabah. Tangisan tidak lagi dianggap sebagai hal yang menenangkan, sehingga tertawa sudah menjadi penggantinya. Hati yang dahulu lembut dan bersih, kini mulai mati dan kelam. Yang terjadi hanya pikiran-pikiran sempit, pendek, dan tertutup. Seperti ada tirai hitam yang menghalangi ketika ingin keluar.

Mungkin kita sekarang butuh uzlah, mungkin kita sekarang harus melihat sejenak, menyelam, dan kemudian memahami setiap dinamika hidup kita. Menyelam adalah mencari sesuatu yang tersembunyi, mencari sesuatu yang tertutup, namun pada hakikatnya ia bersinar. Seperti mutiara yang ada di dasar laut, ada kalanya ia tersinari sinar mentari yang dengan susah payah menembus kedalaman air, sehingga bersinarlah ia memantulkan cahayanya. Namun terkadang juga permukaan laut yang gelap menghalangi mutiara tersebut untuk memancarkan cahayanya.

Sinar matahari tetaplah pada rentang frekuensinya, tetaplah pada rentang waktu penyinarannya, tetaplah pada jalurnya, dan tetap pada ketetapannya.

Mari kita menyelami lebih dalam makna hidup ini, uzlah sejenak untuk menghapus kelabunya hati, sejenak menjadi penawar dari kerja yang menyibukkan, dan jadikan ini ibadah pada-Nya.

Allahu ghayatuna, sebuah orientasi, motto, sekaligus makna. Dan mutiara itu kini di depan mata, tinggal bagaimana kita menyelaminya.

…Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).

(QS. Ali ‘Imran, 3: 14)

Tidak ada komentar: