Mari kita sedikit melihat ke sejarah, menikmati romantisme masa lampau saat bangsa ini masih dijajah oleh bangsa-bangsa besar di dunia. Bangsa yang boleh dikatakan sedang memimpin peradaban dunia di masa itu, yaitu bangsa-bangsa Eropa. Kita arungi kembali waktu-waktu dan ruang-ruang masa lalu. Masa ketika belum dikenal istilah mahasiswa dalam perjalanan negeri ini. Sebuah periode ketika bangsa ini menjadi budak-budak yang menyejahterakan kolonial.
Ketika itu nama Indonesia belumlah ada. Kerajaan-kerajaan di Indonesia masih bersifat kedaerahan, keturunan, keagamaan, atau alasan lainnya. Belum ada kata-kata nasionalisme di sana, yang ada yaitu kerajaan atau kesultanan. Saat itu pusat-pusat peradaban lokal dalam bentuk kerajaan atau kesultanan masih terpusat di daerah Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi.
Hingga pada tahun 1511 bangsa Portugis menginjakkan kakinya di Nusantara, dikarenakan waktu itu daerah ini sangat dikenal di Eropa karena rempah-rempahnya.
Penjajahan bangsa ini dimulai sejak Portugis berhasil mengalahkan kerajaan Islam Malaka. Setelah itu beruturut-turut datang bangsa-bangsa lainnya bergiliran merebut kekuasaan di beberapa daerah Nusantara, seperti Inggris dan Spanyol. Pada tahun 1605, Belanda akhirnya bisa menjejakkan kaki di Nusantara karena berhasil mengalahkan Portugis dan Spanyol.
Seperti yang kita ketahui, Belanda menguasai bangsa ini selama hampir 350 tahun lamanya. Merupakan sebuah waktu yang lama, ganti berganti generasi, dan sebuah penantian yang panjang. Beragam politikpun diberlakukan seperti devide et impera, penanaman paksa (cultuur stetsel), kerja paksa, hingga politik etis (Ethische Politiek). Tidak hanya itu, semua sistem pemerintahan saat itu benar-benar sistem yang rapi, terkontrol, anti konflik, dan sifatnya status quo. Kepala-kepala daerah seperti bupati pada saat itu ditunjuk langsung oleh pihak Belanda. Banyak dari mereka yang seperti menjadi 'boneka' kolonial. Penjajahan ini lama kelamaan mengubah karakter bangsa menjadi bermental pekerja, bermental penerima, bermental kaum yang dibungkam, dan kaum yang tertindas.
Bangsa Indonesia tidak serta merta tinggal diam dalam menentang penjajahan. Sejarah mencatat banyak sekali perang dan pemberontakan yang dilakukan pada masa itu. Hanya saja, yang tercatat sebagai perang-perang besar saja yang sampai saat ini menjadi ingatan kita semua. Setiap perang selalu saja dimotori oleh beberapa orang. Di sini kita bahas tentang mayoritas dari mereka yang sudah memimpin gerak perlawanan pada masa mudanya. Tentunya, yang dimaksud muda adalah bukan terpaut usia, namun lebih kepada kondisi yang semangat dan bergelora.
Kita dapat mengambil contoh seorang Imam Bonjol. Pahlawan ini dikenal atas karya besarnya memimpin Perang Padri selama lebih dari 30 tahun lamanya. Tidak hanya itu, Perang Padri dimulai sejak usianya 31 tahun. Sebuah usia yang sangat muda untuk menggerakkan rakyat daerah Padri, daerah sekitar Sumatera Barat. Contoh selanjutnya adalah adalah Sultan Hasanuddin, yang berhasil memobilisasi rakyatnya di Gowa untuk melawan imperialisme Belanda pada usia 34 tahun. Lain lagi dengan Hajjah Rangkayo Rasuna Said, seorang wanita pejuang yang juga konsisten menentang Belanda pada usia yang baru 22 tahun, meskipun tidak dengan perjuangan fisik. Juga seorang Thomas Matulessy, yang terkenal dengan nama Pattimura, yang mati di tiang gantungan Belanda saat usianya 34 tahun, demi sebuah kata: merdeka!
Perjuangan tiada pernah berhenti. Itulah sebuah makna yang dapat kita tarik dari romantisme sejarah ini. Bangsa ini mungkin belum mengenal nasionalisme saat itu, belum mengenal kesatuan sebagai bangsa yang utuh, yaitu Indonesia. Namun, mereka selalu mengutamakan rakyatnya, kesejahteraannya, kemaslahatannya, dan ketenteramannya. Perjuangan untuk mencapai kebaikan-kebaikan masyarakat dari dulu hingga sekarang tiada pernah henti. Kondisi ideal yang ada di benak kita masing-masing sampai saat ini masih mendorong kita untuk terus dan terus menerus bergerak. Maka bersyukurlah apabila kita masih mempunyai benak yang ideal.
Perjuangan akan selalu menemukan metode terbaiknya sesuai kondisi zamannya. Kondisi zaman penjajahan adalah kondisi yang penuh paksaan dan keras, sehingga perjuangan kala itu adalah perjuangan fisik. Hingga pada akhirnya, ada suatu masa di mana Pemerintah Hindia-Belanda menerapkan sebuah politik etis, politik balas budi yang sifatnya populis. Mau tidak mau, Belanda menerapkan metode yang lebih bersahabat. Ibarat memberi permen kepada anak yang terus merengek, itulah politik etis.
Kebijakan politik ini lama kelamaan menyurutkan semangat perlawanan bangsa dalam hal fisik. Metode perjuangan seperti dipaksa berubah sejak diberlakukannya politik ini. Sehingga pada akhirnya, perjuangan beralih dari perjuangan fisik ke perjuangan pemikiran. Namun, pada intinya adalah bahwa perjuangan tiada pernah henti, hingga masyarakat mencapai kebaikan-kebaikan hakikinya. Kebaikan yang diterima semuanya, dan kebaikan yang lebih dominan dibandingkan keburukan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar