Selasa, 29 Mei 2012

Pendidikan Mengarah Pada Komersialisasi



Sumber http://www.pikiran-rakyat.com/node/189418


BANDUNG, (PRLM).- Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas) yang baru saja diperingati pada 20 Mei harus menjadi momentum untuk memperbaiki kondisi bangsa termasuk pendidikan tanah air. Pasalnya pendidikan saat ini semakin mengarah pada komersialisasi dan liberalisasi.


Hal tersebut terungkap dalam Diskusi Reformasi Pendidikan dan Gerakan Moral yang digelar di Cafe S28, Jln.Sulanjana Bandung, Selasa (22/5). Diskusi ini digelar dalam rangka peringatan Hari Kebangkitan Nasional 20 Mei.




Rangga Suparnata, mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati yang juga aktivis LSM Bhuana Cendekia menuturkan, sudah saatnya pemerintah mulai memperhatikan pemerataan kualitas dan mutu pendidikan di Indonesia. Sebab faktanya kondisi pendidikan di Indonesia saat ini masih timpang antara satu daerah dengan daerah lain.


"Harkitnas harus menjadi momen untuk menjadikan pendidikan ke arah yang lebih baik. Bukan justru memunculkan pendidikan yang komersil dan kapitalis seperti yang terjadi sekarang ini," katanya.



Sementara itu, Direktur Center of Indonesian Public Policy Studies (CIPPS) Ramadhani Pratama Guna menuturkan, yang membuat bangsa ini belum juga bangkit sebetulnya bukanlah masyarakatnya. Melainkan pemerintahnya sendiri yang masih saja membatasi akses masyarakat untuk maju.


"Kemampuan adaptasi kita cepat, riset sudah baik, kultur kita juga sudah baik. Tapi pemerintahnya belum baik. Anggaran kita masih sedikit, akses masyarakat untuk memperoleh kemudahan susah. Dalam bidang penelitian misalnya, seorang peneliti harus keliling departemen untuk bisa memperoleh dana penelitian," ungkapnya.


Ramadhani menilai, dari segi aturan, perundang-undangan di Indonesia sebetulnya sudah sangat baik. Namun sayangnya implementasi di lapangan tidak sebaik peraturannya. "Selain itu kurikulum pendidikan kita juga sudah saatnya dievaluasi. Kenapa? Sebab terlalu berat kepada akademis sementara karakter tidak terbangun," tuturnya.


Salah satu contoh tidak berimbangnya kurikulum di Indonesia adalah minimnya mata pelajaran atau mata kuliah berbasis karakter seperti pendidikan kewarganegaraan, agama, dan etika. Di perguruan tinggi misalnya, pendidikan kewarganegaraan atau pendidikan agama hanya diberikan dua SKS selama empat tahun mahasiswa menempuh studi di pendidikan tinggi. "Itulah mengapa mahasiswa banyak yang berinisiatif untuk membentuk pengajian di luar kampus," ucapnya. (A-157/A-147)***

Tidak ada komentar: