Kisruh mengenai BBM sekarang perlahan tapi pasti mulai
kembali menyita konsentrasi kita. Hal ini terjadi karena pemerintah semakin
mantap untuk membatasi penggunaan BBM bersubsidi (jenis premium) karena
khawatir kuota subsidi jebol. Ketika jebol, pilihannya dua: hidup tanpa BBM
bersubsidi, atau meningkatkan volume impor BBM. Pilihan pertama adalah pilihan
yang perih dan pastinya melanggar konstitusi karena pilihan masyarakat
“terkunci” pada BBM harga pasar. Pilihan kedua, masyarakat tetap nyaman, namun
pemerintah akan “sesak nafas” karena anggaran akan membengkak.
Dua klausul itu sama-sama mempunyai tingkat bahaya yang
tinggi. Namun, ada hal yang lebih bahaya lagi, yaitu jika fokus pemerintah dan
masyarakat terkunci (atau dikunci?) pada isu pembatasan saja. Padahal, tahun
2013 adalah masa habisnya kontrak pengelolaan blok Siak di Riau, yang selama
ini dikelola oleh sebuah perusahaan swasta asing.
Secepatnya
Blok Siak selama ini menyumbang sekitar 2.600 barel per hari
(bph) dari total produksi minyak dari bumi Indonesia yang sekitar 930.000 bph.
Untuk ukuran sebuah blok, produksi dari perut bumi Siak tergolong besar. Oleh
karena itu, wajar jika blok ini menjadi incaran banyak perusahaan swasta baik
dalam dan luar negeri untuk mengelolanya. Apalagi Provinsi Riau merupakan salah
satu provinsi kaya minyak di Indonesia. Selama ini, minyak yang dihasilkan dari
blok migas di provinsi Riau menyumbang hampir separuh dari produksi minyak
mentah nasional. Jumlahnya mencapai sekitar 408.000 bph. Potensi kedepannya
akan sangat besar jika perlahan tapi pasti, Negara melalui Pertamina dapat
mengelola blok-blok migas yang ada di Indonesia. Sehingga, pemerintah harus
sesegera mungkin memutuskan perihal hak pengelolaan blok ini kedepannya.
Penguasaan blok Siak oleh Negara merupakan salah satu hal
yang bisa memperkuat ketahanan energi nasional. Sedikit banyak hal ini akan
berkontribusi dalam mengurangi volume impor BBM yang saat ini mencakup 2/3
kebutuhan minyak nasional. Pemerintah harus bisa membangun paradigma bahwa
penguasaan blok Siak oleh Negara merupakan langkah-langkah kecil untuk menjadi
penguasa kembali di bumi Indonesia.
Tidak hanya itu, dari segi analisis finansialpun, penguasaan
blok ini juga sangat layak untuk dilakukan. Dengan asumsi harga minyak dunia
US$ 95 per barel, pendapatan perusahaan yang nantinya mengelola blok ini bisa
mencapai US$ 90,2 juta per tahun. Jika dikonversi terhadap rupiah,
pendapatannya mencapai Rp 805,5 miliar per tahun.
Sekali lagi, sudah selayaknya pemerintah segera menetapkan
hak pengelolaan blok Siak. Jika mengingat bahwa pemilu presiden akan dilakukan
2014 dan mulai tahun ini sudah mulai banyak pencitraan dan manuver dari
pihak-pihak yang mungkin akan mencalonkan diri, penetapan ini sudah sangat
mendesak. Hal ini untuk menghindari potensi terjadinya deal-deal politik yang menjadikan hak pengelolaan blok Siak menjadi
komoditas politik.
Keberpihakan Negara
Pertanyaannya, apakah badan usaha milik negara dan daerah
siap untuk mengelola blok Siak? Jawabannya adalah iya. Pertamina lewat direktur
utamanya telah menegaskan bahwa Pertamina siap secara finansial dan teknologi
untuk mengelola blok-blok yang akan habis masa kontraknya. Lagipula, pengalaman
sejarah seharusnya membuat bangsa kita semakin percaya diri pada kemampuan
sendiri. Sehingga tidak ada alasan lagi untuk mencari-cari kepada siapa blok
Siak akan diberikan.
Siklus ayam-telur pada aplikasi teknologi harus segera
dipotong. Siklus ini berpikir bahwa dengan menyerahkan kepada perusahaan yang
teknologinya belum mumpuni, target produksi tidak akan tercapai dengan
maksimal. Sehingga harus diberikan kepada perusahaan yang teknologinya mumpuni.
Akan tetapi, jika perusahaan yang teknologinya belum mumpuni tidak diberikan
kepercayaan, proses pembelajaran dan adaptasi teknologi akan berjalan lambat.
Potong segera siklus itu dengan memberikan pengelolaan blok Siak kepada
Pertamina, BUMN atau BUMD lainnya.
Untuk jangka panjang, pemotongan siklus ini harus diterapkan
pada skala undang-undang. Sejak 15 Desember 2004, sejumlah 9 (sembilan) hakim
konstitusi dalam Mahkamah Konstitusi telah memutuskan untuk membatalkan
beberapa pasal dalam UU No. 22 Tahun 2001 (UU Migas). Seharusnya, DPR segera
merampungkan revisi UU Migas yang sesuai amanat konstitusi. Namun, hingga detik
tulisan ini dibuat, belum ada pengesahan UU Migas yang telah direvisi.
Oleh karena itulah, pasal-pasal yang berkaitan dengan
keberpihakan negara terhadap badan usaha milik negara untuk mengelola blok
migas harus dimasukkan. Hal ini selain berakibat lebih besarnya pendapatan
negara, juga memperbesar ketahanan dan kedaulatan negara terhadap energi. Maka,
tiada alasan lagi, segera ambil alih blok Siak. Tetapkan segera dan berikan
pengelolaannya kepada badan usaha milik negara.
***
Penulis
adalah Peneliti di Indonesian Resources Studies (IRESS) – http://iress.web.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar