Rabu, 02 Mei 2012

Sekelumit Bayang-bayang Mayday


Sekelumit Bayang-bayang Mayday



Tentunya sebagian dari kita mengetahui bahwa setiap tahunnya buruh dan tenaga kerja merayakan Hari Buruh Internasional (Mayday). Hari besar bagi buruh dan tenaga kerja ini dirayakan tanggal 1 Mei setiap tahunnya. Besarnya perayaan hari tersebut selalu ditandai dengan besarnya massa buruh dan tenaga kerja dari berbagai serikat dan organisasi massa yang berdemonstrasi di titik-titik penyampaian aspirasi.

Mau tidak mau, kita harus mengakui bahwa elemen buruh adalah salah satu elemen masyarakat yang paling aktif melakukan demonstrasi. Setidaknya pada tahun 2012 ini sudah terjadi tiga kali demonstrasi besar yang dilakukan buruh. Demonstrasi pertama adalah demonstrasi buruh se-kabupaten Bekasi pada 19 Januari 2012 yang memblokir jalan tol Jakarta-Cikampek. Demonstrasi selanjutnya dilakukan pada 27 Januari 2012 dengan massa dan titik yang jauh lebih banyak, tidak terkecuali jalan tol Jakarta-Cikampek. Sedangkan demonstrasi besar ketiga adalah ketika rapat paripurna DPR membahas kenaikan harga BBM pada tanggal 30 Maret 2012 dan letupan-letupan menjelang hari itu.


Kejadian-kejadian besar yang dilakukan buruh ini pada hakikatnya memberikan indikasi pada kita bahwa ada yang tidak beres dalam pengelolaan dan perlakuan stakeholder terkait kepada elemen buruh dan tenaga kerja. Para stakeholder ini tidak lain adalah pengusaha pemilik perusahaan dan pemerintah, baik pusat maupun daerah.

Tiga Masalah

Ada tiga masalah utama yang selama ini membayangi dunia perburuhan Indonesia, terutama menjelang Hari Buruh 1 Mei 2012 ini. Masalah pertama terkait dengan Upah Minimum Regional (UMR). Masalah kedua berhubungan dengan sistem outsourcing. Masalah ketiga terkait dengan organisasi buruh.

Permasalahan UMR adalah permasalah klasik yang terus saja berulang. Permasalahan utama adalah mengenai kesepakatan besaran UMR antara pemerintah dengan pengusaha, dan pengusaha dengan buruh. Saat ini, UMR tertinggi ada di Provinsi DKI Jakarta sekitar Rp 1,5 juta per bulan, sedangkan UMR terendah ada di Provinsi Gorontalo sekitar Rp 837 ribu per bulan. Adapun rata-rata UMR se-Indonesia sekitar Rp 1,1 juta per bulan. Jika kita lihat, besaran ini jauh di bawah pendapatan per kapita rata-rata penduduk Indonesia, yaitu sekitar Rp 2,2 juta per bulan. Hal ini menandakan, penghasilan buruh masih di bawah rata-rata penghasilan orang Indonesia. Permasalahan lainnya mengenai UMR adalah masih banyaknya penyelewangan di lapangan. Meskipun ada aturan UMR, nyatanya upah yang diberikan banyak yang di bawah UMR. Adapun buruh tidak bisa berbuat banyak, cenderung menerima ketimbang tidak berpenghasilan sama sekali.

Kisruh mengenai UMR ini terkadang menjadi komoditas politik penguasa. Jika ingin meraih simpati buruh, pemerintah setempat bisa saja menggulirkan isu kenaikan UMR. Selanjutnya hal ini disambut protes kalangan pengusaha. Bahkan ada yang sampai mengajukan gugatan hukum. Selanjutnya, buruh yang akan pasang badan untuk menyatakan dukungan terhadap kenaikan UMR. Jika pemerintah tersebut memenangkan gugatan, posisinya di atas angin karena terkesan berhasil membela dan menerapkan sekaligus kenaikan upah buruh. Namun, jika kalah dalam gugatan, tetap akan mendapat simpati karena terkesan membela. Hendaknya kita semua berhati-hati mengenai hal ini.

Permasalahan kedua adalah terkait sistem outsourcing. Belum hilang ingatan kita bahwa ada usaha legalisasi sistem outsourcing. Namun, meskipun Mahkamah Konstitusi sudah membatalkan aturan tersebut, masih ada saja kasus yang terjadi mengenai hal ini. Sistem ini jelas-jelas tidak membawa keadilan pada buruh karena dilingkupi ketidakpastian dan mudahnya “dibuang” jika ada jasa lain yang lebih murah.

Permasalahan terakhir mengenai organisasi buruh. Organisasi atau serikat buruh yang menjadi salah satu karakter alamiah masyarakat sipil belakangan ini juga sering diusik. Padahal, organisasi inilah yang paling efektif untuk menyuarakan aspirasi buruh agar menjadi kekuatan bagi suara-suara kecil yang terserak. Namun, ditemukan sejumlah kasus dimana perusahaan tidak mengizinkan tenaga kerjanya untuk mendirikan organisasi atau serikat. Kasus lainnya adalah suara organisasi yang seringkali tidak didengar (kecuali jika sudah melakukan tindakan yang nyeleneh). Selain itu, terjadi pula terjadi komunikasi yang tidak efektif antara pihak perusahaan dengan pihak organisasi. Masalah-masalah ini jika dibiarkan terus menerus akan membuat suara buruh tersumbat. Bahayanya, jika suara tersumbat, yang diekspresikan bukan lagi suara lewat mulut, namun tindakan fisik. Hal ini yang seharusnya dihindari.

Lebih Responsif

Pada banyak kasus di atas, penguasa seringkali hadir “terlambat”. Hal ini menjadi evaluasi bagi penguasa agar lebih bisa responsif, turun hingga ke lapangan, dan membangun komunikasi yang baik dengan pihak buruh. Apakah harus dengan memblokir jalan tol dahulu baru menteri terkait hadir di tengah-tengah mereka? Jika hal ini yang terjadi, jelas pemerintah sebagai penguasa telambat.

Saat isu outsourcing menyeruak, penguasa juga tidak hadir sebagai pihak pertama. Dalam kasus ini kalah cepat dengan organisasi buruh dan media massa. Apakah harus menunggu dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi baru pemerintah hadir dengan mendata perusahaan mana yang outsourcing dan berapa jumlah pegawainya?

Begitu juga dengan isu BBM akhir Maret kemarin. Ketika corong aspirasi tersumbat, yang terjadi adalah tindakan fisik. Alhasil, ribuan buruh dari berbagai organisasi dan serikat pekerja mendatangi gedung DPR/MPR. Mereka bersatu dengan mahasiswa melakukan aksi demonstrasi. Apakah harus dengan memblokir jalan tol dalam kota sampai maghrib, barulah para petinggi partai politik yang berkuasa berlomba-lomba “mengemas” sikap politiknya agar seakan-akan menolak kenaikan harga BBM?

Hal ini harus dihindari dan mesti ada usaha terus menerus agar tiada lagi keterlambatan penguasa dalam memperlakukan buruh agar tercipta kondisi yang lebih adil. Sehingga, kita bersama-sama dapat menyambut Mayday nanti dengan tertib dan damai dan bersatu padu menyampaikan aspirasi, keluhan, dan harapan melalui demonstrasi dengan tertib dan aman.

***
Penulis adalah Peneliti di Indonesian Resources Studies (IRESS) – http://iress.web.id

Tidak ada komentar: