Sekelumit Bayang-bayang Mayday
Tentunya sebagian dari kita
mengetahui bahwa setiap tahunnya buruh dan tenaga kerja merayakan Hari Buruh
Internasional (Mayday). Hari besar
bagi buruh dan tenaga kerja ini dirayakan tanggal 1 Mei setiap tahunnya.
Besarnya perayaan hari tersebut selalu ditandai dengan besarnya massa buruh dan
tenaga kerja dari berbagai serikat dan organisasi massa yang berdemonstrasi di
titik-titik penyampaian aspirasi.
Mau tidak mau, kita harus
mengakui bahwa elemen buruh adalah salah satu elemen masyarakat yang paling
aktif melakukan demonstrasi. Setidaknya pada tahun 2012 ini sudah terjadi tiga
kali demonstrasi besar yang dilakukan buruh. Demonstrasi pertama adalah
demonstrasi buruh se-kabupaten Bekasi pada 19 Januari 2012 yang memblokir jalan
tol Jakarta-Cikampek. Demonstrasi selanjutnya dilakukan pada 27 Januari 2012
dengan massa dan titik yang jauh lebih banyak, tidak terkecuali jalan tol Jakarta-Cikampek.
Sedangkan demonstrasi besar ketiga adalah ketika rapat paripurna DPR membahas
kenaikan harga BBM pada tanggal 30 Maret 2012 dan letupan-letupan menjelang
hari itu.
Kejadian-kejadian besar yang
dilakukan buruh ini pada hakikatnya memberikan indikasi pada kita bahwa ada
yang tidak beres dalam pengelolaan dan perlakuan stakeholder terkait kepada elemen buruh dan tenaga kerja. Para stakeholder ini tidak lain adalah
pengusaha pemilik perusahaan dan pemerintah, baik pusat maupun daerah.
Tiga Masalah
Ada tiga masalah utama yang
selama ini membayangi dunia perburuhan Indonesia, terutama menjelang Hari Buruh
1 Mei 2012 ini. Masalah pertama terkait dengan Upah Minimum Regional (UMR).
Masalah kedua berhubungan dengan sistem outsourcing.
Masalah ketiga terkait dengan organisasi buruh.
Permasalahan UMR adalah
permasalah klasik yang terus saja berulang. Permasalahan utama adalah mengenai
kesepakatan besaran UMR antara pemerintah dengan pengusaha, dan pengusaha
dengan buruh. Saat ini, UMR tertinggi ada di Provinsi DKI Jakarta sekitar Rp
1,5 juta per bulan, sedangkan UMR terendah ada di Provinsi Gorontalo sekitar Rp
837 ribu per bulan. Adapun rata-rata UMR se-Indonesia sekitar Rp 1,1 juta per
bulan. Jika kita lihat, besaran ini jauh di bawah pendapatan per kapita
rata-rata penduduk Indonesia, yaitu sekitar Rp 2,2 juta per bulan. Hal ini
menandakan, penghasilan buruh masih di bawah rata-rata penghasilan orang
Indonesia. Permasalahan lainnya mengenai UMR adalah masih banyaknya
penyelewangan di lapangan. Meskipun ada aturan UMR, nyatanya upah yang
diberikan banyak yang di bawah UMR. Adapun buruh tidak bisa berbuat banyak,
cenderung menerima ketimbang tidak berpenghasilan sama sekali.
Kisruh mengenai UMR ini terkadang
menjadi komoditas politik penguasa. Jika ingin meraih simpati buruh, pemerintah
setempat bisa saja menggulirkan isu kenaikan UMR. Selanjutnya hal ini disambut
protes kalangan pengusaha. Bahkan ada yang sampai mengajukan gugatan hukum.
Selanjutnya, buruh yang akan pasang badan untuk menyatakan dukungan terhadap
kenaikan UMR. Jika pemerintah tersebut memenangkan gugatan, posisinya di atas
angin karena terkesan berhasil membela dan menerapkan sekaligus kenaikan upah
buruh. Namun, jika kalah dalam gugatan, tetap akan mendapat simpati karena terkesan
membela. Hendaknya kita semua berhati-hati mengenai hal ini.
Permasalahan kedua adalah terkait
sistem outsourcing. Belum hilang
ingatan kita bahwa ada usaha legalisasi sistem outsourcing. Namun, meskipun Mahkamah Konstitusi sudah membatalkan
aturan tersebut, masih ada saja kasus yang terjadi mengenai hal ini. Sistem ini
jelas-jelas tidak membawa keadilan pada buruh karena dilingkupi ketidakpastian
dan mudahnya “dibuang” jika ada jasa lain yang lebih murah.
Permasalahan terakhir mengenai
organisasi buruh. Organisasi atau serikat buruh yang menjadi salah satu
karakter alamiah masyarakat sipil belakangan ini juga sering diusik. Padahal,
organisasi inilah yang paling efektif untuk menyuarakan aspirasi buruh agar
menjadi kekuatan bagi suara-suara kecil yang terserak. Namun, ditemukan
sejumlah kasus dimana perusahaan tidak mengizinkan tenaga kerjanya untuk
mendirikan organisasi atau serikat. Kasus lainnya adalah suara organisasi yang
seringkali tidak didengar (kecuali jika sudah melakukan tindakan yang nyeleneh). Selain itu, terjadi pula
terjadi komunikasi yang tidak efektif antara pihak perusahaan dengan pihak
organisasi. Masalah-masalah ini jika dibiarkan terus menerus akan membuat suara
buruh tersumbat. Bahayanya, jika suara tersumbat, yang diekspresikan bukan lagi
suara lewat mulut, namun tindakan fisik. Hal ini yang seharusnya dihindari.
Lebih Responsif
Pada banyak kasus di atas, penguasa
seringkali hadir “terlambat”. Hal ini menjadi evaluasi bagi penguasa agar lebih
bisa responsif, turun hingga ke lapangan, dan membangun komunikasi yang baik
dengan pihak buruh. Apakah harus dengan memblokir jalan tol dahulu baru menteri
terkait hadir di tengah-tengah mereka? Jika hal ini yang terjadi, jelas pemerintah
sebagai penguasa telambat.
Saat isu outsourcing menyeruak, penguasa juga tidak hadir sebagai pihak
pertama. Dalam kasus ini kalah cepat dengan organisasi buruh dan media massa.
Apakah harus menunggu dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi baru pemerintah hadir
dengan mendata perusahaan mana yang outsourcing
dan berapa jumlah pegawainya?
Begitu juga dengan isu BBM akhir
Maret kemarin. Ketika corong aspirasi tersumbat, yang terjadi adalah tindakan
fisik. Alhasil, ribuan buruh dari berbagai organisasi dan serikat pekerja
mendatangi gedung DPR/MPR. Mereka bersatu dengan mahasiswa melakukan aksi
demonstrasi. Apakah harus dengan memblokir jalan tol dalam kota sampai maghrib,
barulah para petinggi partai politik yang berkuasa berlomba-lomba “mengemas”
sikap politiknya agar seakan-akan menolak kenaikan harga BBM?
Hal ini harus dihindari dan mesti
ada usaha terus menerus agar tiada lagi keterlambatan penguasa dalam
memperlakukan buruh agar tercipta kondisi yang lebih adil. Sehingga, kita
bersama-sama dapat menyambut Mayday nanti dengan tertib dan damai dan bersatu
padu menyampaikan aspirasi, keluhan, dan harapan melalui demonstrasi dengan
tertib dan aman.
***
Penulis adalah
Peneliti di Indonesian Resources Studies (IRESS) – http://iress.web.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar