“Sekarang jaman udah berubah! Mahasiswa turun ke jalan itu udah kuno! Ga intelek! Ga elegan! Sekarang jamannya menghasilkan karya, menghasilkan inovasi, pergi ke desa, bikin comdev”.
Setidaknya
itulah beberapa celetukan sejumlah teman-teman mahasiswa, setidaknya sejumlah
mahasiswa yang saya temukan di ITB. Sejumlah mahasiswa tersebut jarang memang
mengatakan hal-hal tersebut di forum-forum umum. Mereka lebih sering terlihat
di “forum dunia maya” seperti Facebook dan Twitter. Lucunya, mayoritas dari
orang-orang tersebut jarang saya lihat membicarakan langsung keluhan-keluhannya
pada aktivis-aktivis gerakan politik mahasiswa. Mereka cenderung berdiskusi
dengan sesama “anti” gerakan politik. Alhasil, pemikiran mereka “terkunci” pada
anggapan-anggapan yang ada pada mereka dan semakin keras kepala terhadap
pendapat mereka.
Tidak hanya
itu, saya juga sering menemukan di “dunia maya” sejumlah mahasiswa ITB dan
mahasiswa kampus lain yang bilang,
“Untuk apa melakukan hal yang ga konkrit! Bisanya kritik-kritik aja! Kita mahasiswa mesti menghasilkan solusi dong!”
“Kenapa sih ngomongin bangsa dan hal-hal yang melangit, tapi masyarakat sekitar juga belum beres dan belum tersentuh. Mendingan langsung turun ke sekitar”
Saya terus
terang tidak paham dan tidak mengerti teori darimana yang menjadi justifikasi
sejumlah mahasiswa tersebut. Jangan dulu berbicara teori, bahkan pengalaman
empiris belum tentu. Dari pengalaman empiris saya dan beberapa teman yang aktif
dalam gerakan politik mahasiswa, mayoritas mahasiswa yang berkata pedas
terhadap gerakan politik mahasiswa itu juga memang jarang ikut aktivitas
politik mahasiswa.
Jarang
(atau bahkan tidak pernah?) ikut demonstrasi tapi berbicara lantang mengenai
demonstrasi karena melihat sisi jeleknya di media. Ada pula yang jarang (atau
bahkan tidak pernah?) ikut kajian politik tapi berbicara lantang bahwa
wacana-wacana saja tidak penting. Ada pula yang skeptis kalau diajak berbicara
bangsa karena itu omongan berat.
Kalau diteliti, saya yakin ada ratusan alasan yang menjadi justifikasi
mahasiswa-mahasiswa ini untuk malas gerakan politik.
Saya pernah
membaca buku mengenai Rekayasa Sosial, pengarangnya seorang dosen Universitas
Padjadjaran, yaitu Dr. Jalaluddin Rahmat. Meskipun ia terkenal sebagai tokoh
JIL (atau tasawuf?), namun ilmunya mengenai Rekayasa Sosial tidak bisa dianggap
remeh. Dalam buku tersebut, saya menemukan jenis-jenis kesalahan berpikir yang
seringkali terjadi, dan ketika saya amati, hal itu juga terjadi di mahasiswa
ITB, setidaknya sejumlah mahasiswa ITB yang sering mengeluhkan gerakan politik
mahasiswa.
Kesalahan Berpikir (Logical Fallacy)
Kesalahan
berpikir yang seringkali saya temukan pada sejumlah mahasiswa ITB ketika menanggapi
permasalahan-permasalahan gerakan eksternal adalah overgeneralisasi,
polarisasi, linear, deterministik, membandingkan yang tidak apple to apple, dan treatment yang sama.
Overgeneralisasi
adalah kesalahan berpikir yang mengambil kesimpulan umum hanya dari satu-dua
kasus saja. Apalagi apabila melihatnya hanya di televisi. Mahasiswa yang bilang
demo itu tidak intelek, mengganggu ketertiban, dan sebagainya adalah mahasiswa
yang melakukan overgeneralisasi hal ini. Saya selama di ITB setidaknya sudah 17
kali melakukan demonstrasi. Dari 17 kali tersebut, demo yang saya ikuti hanya 1
kali ricuh. Itupun bukan dari faktor internal barisan demo, namun dari massa
aksi elemen lain. Sehingga salah ketika mahasiswa ada yang bilang demo itu
tidak intelek, mengganggu ketertiban umum, dan berbagai macam alasan lainnya
jika ia baru satu-dua kali demo dan menonton di televisi saja.
Kesalahan
berpikir lainnya adalah polarisasi. Kesalahan berpikir ini cenderung
mempertentangkan sesuatu yang tidak perlu dipertentangkan. Contohnya adalah
“lebih baik gerakan horizontal daripada gerakan vertikal”. Hal ini juga
merupakan kesalahan berpikir yang fatal. Pertanyaan saya adalah, untuk apa
mempertentangkan? Ini adalah pemikiran yang sangat picik. Untuk menanggapi isu
kenaikan harga BBM, apakah bisa dijawab dengan gerakan horizontal? Untuk
menanggapi blok-blok migas kita yang diberikan kepada perusahaan asing, apakah
bisa dijawab dengan gerakan horizontal? Untuk menanggapi kasus korupsi Wisma
Atlet, bisakah dengan gerakan horizontal?
Gerakan
vertikal ataupun horizontal, kesemuanya bersifat saling melengkapi. Ada hal-hal
yang tidak bisa dijawab dengan gerakan horizontal, dan adapula hal-hal yang
tidak bisa dijawab dengan gerakan vertikal. Sehingga, tidak perlu ada lagi
pertentangan-pertentangan kosong yang diada-adakan untuk menambah alasan untuk
tidak bergerak secara politik, padahal malas.
Kesalahan
berpikir lainnya adalah linear. Ini mungkin salah satu efek dari belajar eksak
dan teknik. Sehingga seringkali kita berpikir bahwa sesuatu itu linear, padahal
sangat-sangat belum tentu. Contohnya adalah, “buat apa mikirin bangsa toh yang
internal aja belum beres”. Contoh lainnya adalah, “buat apa mikirin bangsa yang
terlalu melangit, toh masyarakat sekitar Bandung juga banyak yang masih
bermasalah”. Inilah kesalahannya. Teori mana yang menyatakan bahwa ada hubungan
linear antara kondisi internal kampus dengan kondisi bangsa? Teori mana juga
yang menyatakan bahwa ada hubungan linear antara kondisi bandung dengan kondisi
bangsa? Mungkin memang berhubungan, namun belum tentu linear kan?
Kesalahan
berpikir lainnya adalah deterministik. Pola pikir ini juga merupakan dampak
belajar eksak dan teknik. Pola pikir deterministik melihat bahwa sesuatu hal
tidak berubah kondisinya, variabel-variabelnya, relasi-relasinya, dan
sebagainya. Sehingga tidak ada sikap politik yang abadi. Hari ini kita menolak
kenaikan harga BBM, hari esok ataupun enam bulan lagi belum tentu. Pola pikir
deterministik ini juga yang menjebak mahasiswa pada pikiran bahwa kondisi
perpolitikan Indonesia itu kondisi yang eksak, mudah dihitung-hitung. Padahal,
kita sama-sama menyadari bahwa sebagian besar filsuf mengatakan bahwa politik
adalah art. Bukan sebuah
hitung-hitungan belaka. Menurut kajian permodelan, sistematis, dan berlandaskan
metodologi ilmiah dan teori-teori tertentu merekomendasikan bahwa harus
dilakukan kebijakan A. Namun sangat-sangat mungkin kebijakan A tidak jadi
diambil, dan diambilah kebijakan lain, bahkan hingga setengah jam sebelum
penentuan keputusan akhir. Its called
politics!
Kesalahan
berpikir lainnya adalah membandingkan yang tidak apple to apple. Membandingkan sesuatu yang tidak apple to apple adalah sebuah kepicikan.
Contoh yang sering terjadi adalah membandingkan harga BBM antara negara
Indonesia dengan negara X yang notabene lebih tinggi harganya. Sedangkan kita
sama-sama mengetahui murah atau mahalnya suatu barang itu sangat relatif.
Sebuah mobil seharga Rp.400 juta menurut orang yang penghasilan per bulannya
Rp.10 juta adalah mobil yang mahal. Namun menurut orang yang penghasilan per
bulannya Rp.500 juta mobil itu tergolong murah. Begitu juga dengan harga BBM.
Perbandingannya bukan pada negara lain, atau jika ingin dibandingkan sekalipun,
bandingkan dengan negara lain yang pendapat per kapita rata-rata masyarakatnya
tidak beda jauh dengan Indonesia.
Kesalahan
berpikir lainnya adalah treatment yang
sama. Maksud dari kesalahan berpikir ini adalah menganggap bahwa treatment terhadap sebuah objek akan
menghasilkan output yang sama jika
kita melakukan treatment yang sama
terhadap objek lainnya. Sekali lagi, padahal hal ini belum tentu sama. Itulah
mengapa dokter selalu mendiagnosa sekomprehensif mungkin gejala-gejala yang
timbul pada pasiennya. Pasien A datang ke dokter karena demam, pasien B juga.
Lantas apakah akan diberi obat yang sama dan dosis yang sama pula? Hal ini
bergantung pada banyak faktor, seperti penyakit sesungguhnya (karena demam
adalah gejala dari banyak penyakit, namun bukan penyakitnya itu sendiri), usia,
berat badan, dan kontraindikasi jika menggunakan obat yang akan
direkomendasikan. Sehingga salah juga jika kita menilai upaya konversi ke gas
akan memakan waktu dua tahun di Venezuela, sama dengan apabila diterapkan di
Indonesia. Padahal belum tentu kan?
***
Itulah
beberapa jenis kesalahan berpikir yang sering saya temukan di mahasiswa ITB
terkait dengan gerakan politik mahasiswa. Sehingga hal pertama yang patut kita
hindari adalah kesalahan-kesalahan berpikir tersebut. Selanjutnya, mari kita
bahas juga masalah lainnya dalam gerakan politik, yaitu permasalahan mental
kelas menengah.
Fenomena Kelas Menengah
Salah satu
fenomena menarik yang harus kita bahas dalam gerakan politik adalah fenomena
kelas menengah. Fenomena ini sangat mengemuka di awal tahun 2011 setelah
beberapa media mengangkat mengenai hal ini. Pertumbuhan kelas menengah di
Indonesia mencapai jumlah yang besar pada akhir-akhir ini. Saya tidak akan membahas
mengenai parameter seseorang dikatakan kelas menengah. Hal ini karena saya
menemukan banyak indikator yang berbeda-beda antara suatu lembaga dengan
lembaga lainnya. Lagipula hal tersebut terlalu teoritis.
Saya hanya
akan membahas mengenai karakter kelas menengah. Karakter kelas menengah yang
disebutkan beberapa ahli dalam media tersebut adalah konsumtif, apolitis, suka
dengan minat-minat dan komunitas tertentu, suka yang instan, dan tidak merasa
terganggu selama tidak ada yang mengusik kepentingan mereka.
Sekarang
kita lihat di kampus ITB. Jawab dalam hati bagi anda yang membaca tulisan saya
ini. Pertama, apakah mahasiswa ITB sekarang tergolong konsumtif? Sedangkan kita
melihat seseorang yang kost di Cisitu saja membawa mobil ke kampus. Kasus
lainnya adalah mahasiswa yang dalam dua hari saja menghabiskan pulsa Rp.100
ribu, mending untuk membicarakan hal-hal yang bermanfaat. Sepengamatan saya,
pulsa tersebut diguakan untuk ngetwit, ngebebe, nge-efbe, dan lain-lain. Kedua,
apakah mahasiswa ITB sekarang mayoritas apolitis? Jika kita sering menemukan
kondisi-kondisi yang saya bahas pada subbab sebelumnya itu terjadi. Ketiga,
apakah mahasiswa ITB sekarang suka dengan komunitas-komunitas peminatan
tertentu? Jika kita sudah sering menemukan fenomena-fenomena seperti TEDx,
StudentXCEO, AIESEC, Ganesha Hijau, I3M, dan berbagai komunitas populer
lainnya. Keempat, apakah mahasiswa ITB sekarang suka dengan hal-hal yang
instan? Jika kita melihat jika kajian politik banyak peminatnya, namun jika
udah diajak demo susahnya minta ampun. Jika diskursus-diskursus banyak terjadi
di FB ketimbang di media nyata. Kelima, apakah mahasiswa ITB tidak merasa
terganggu selama tidak ada yang mengusik kepentingan mereka? Jika pada saat
berbicara isu K3L atau wisuda ramai sekali. Namun berbicara bangsa, tidak
seramai isu-isu pop tersebut.
***
Dari
fenomena ini, kita bisa belajar, bahwa tugas kita untuk menyadarkan mahasiswa
ITB tentang arti penting mereka berpolitik sangat besar. Lantas, apakah arti
penting mahasiswa berpolitik? Mari kita simak pembahasan berikut.
Mengapa Mahasiswa Berpolitik
Titik balik
saya masuk ke dunia politik mahasiswa adalah ketika saya mengikuti Diklat
Aktivis Terpusat yang hingga sekarang masih diadakan oleh Kabinet KM ITB. Saya
saat itu perwakilan himpunan yang hanya mengerti kaderisasi dan pengabdian
masyarakat. Pada suatu ketika di DAT, materi yang dibahas adalah mengenai
krisis ekonomi global yang melanda negara-negara besar di dunia, terutama
sektor keuangannya. Saat itu materi disampaikan oleh ekonom kritis nan cerdas,
Dr. Ichsanuddin Noorsy. Beliau memaparkan mengenai kondisi sebenarnya dari
krisis-krisis tersebut dan setting di
balik hal tersebut. Itulah yang dinamakan konspirasi.
Saat itu
beliau menyajikan data dan membuat mata peserta DAT terbelalak bahwa kebijakan
di negeri ini (terutama dalam bidang ekonomi) adalah pesanan asing. Beliau
membukakan dokumen CIA yang dia dapat langsung dari website CIA dan hanya bisa diakses oleh orang-orang tertentu saja.
Dalam dokumen tersebut beliau menunjukkan kata-kata yang paling menohok saya.
Kata-katanya (dalam bahasa inggris) jika diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia kurang lebih seperti ini: “Kita (CIA dan Amerika) tidak perlu ambil
pusing siapa Presiden yang akan terpilih di Indonesia tahun 2009 (karena waktu
DAT itu awal 2009, red) apakah itu Soesilo Bambang Yudhoyono atau bukan,
asalkan kebijakan ekonomi Indonesia tetap membuka keran bagi liberalisasi
ekonomi, sumber daya alam, dan tetap mematuhi aturan-aturan yang ada pada Washington Consensus.
Lantas saat
itu pula nurani ini menyala-nyala, kekesalan membuncah di hati saya, dan
kegelisahan menumpuk pada segenap perasaan. Mengapa hal ini bisa terjadi?
Lantas
sejak itulah saya mengalihkan topik-topik buku bacaan saya dari yang tadinya
hanya sekedar komik, ataupun buku-buku keIslaman, menjadi buku-buku yang
membahas mengenai kenegaraan dan kebangsaan. Pasca itu pula, sering sekali
menemukan fakta-fakta konspirasi itu, baik dari buku-buku, internet, diskusi
dengan tokoh, ataupun diceritakan langsung oleh oknum pemerintahan (dia
benar-benar salah satu pejabat di pemerintahan). Percayalah bahwa fakta ini
terjadi. Artinya, ini berarti merupakan penjajahan terbuka bagi bangsa kita
(lewat paket kebijakan) yang nyatanya memang banyak sekali, sangat banyak
bahkan, yang bertentangan dengan UUD 1945. Padahal, dalam konsep bangsa-negara
(nation-state), satu-satunya hal yang
bisa menjadi ikatan kita bersama adalah bukan pada suku (karena Indonesia
banyak suku), bukan pula tradisi (karena tradisi penduduk Indonesia sangat bervariasi),
bukan pula agama (karena agama yang diakui di Indonesia tidak hanya satu),
namun konstitusi. Sehingga, segala pengkhianatan atas konstitusi merupakan
pengkhianatan kepada bangsa sendiri, umat sendiri, masyarakat sendiri, dan
merupakan amanah bagi pemerintah untuk menjalankan dan menegakkan ikatan
konstitusi tersebut (termasuk hak dan kewajiban konstitusional rakyat
Indonesia).
Sehingga,
ketika ditanya apakah pentingnya gerakan politik mahasiswa? Jawabannya adalah
bahwa karena mahasiswa harus selalu melawan! Melawan terhadap pengkhianatan
amanah rakyat yang diberikan kepada pemerintah (eksekutif, legislatif, dan
yudikatif). Perlawanan ini adalah masalah filosofis. Sedangkan masalah teknis,
bisa dilakukan dengan berbagai cara. Bisa dengan demonstrasi, audiensi, rapat
dengar pendapat, menulis di media, membuat kajian dan diskusi, dan lainnya.
Jangan percaya mentah-mentah pada pemerintah. Sudah banyak bukti undang-undang
yang inkonstitusional (bertentangan dengan UUD 1945), perpres yang juga
inkonstitusional, dan serangkaian kebijakan lain. Kemudian yang perlu dicamkan
adalah, pengkhianatan ini tidak semata-mata dilakukan oleh orang yang mengerti
ataupun orang yang sadar, namun orang yang tidak mengerti dan tidak sadarpun
ikut berbuat hal tersebut, entah karena apa.
Semoga
kalian lebih punya semangat untuk melawan!
Bacalah
sebanyak-banyaknya buku, terutama buku-buku kritis para tokoh, bukan buku
pencitraan atau buku penjilatan orang-orang terhadap tokoh besar. Salam cinta!
Salam cinta dan kasih sayang untuk perjuangan dan perubahan!
Hidup
Mahasiswa!
Hidup Rakyat Indonesia!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar