Kamis, 31 Mei 2012

Beberapa Petuah Tukang Demo


 “Sekarang jaman udah berubah! Mahasiswa turun ke jalan itu udah kuno! Ga intelek! Ga elegan! Sekarang jamannya menghasilkan karya, menghasilkan inovasi, pergi ke desa, bikin comdev”.

Setidaknya itulah beberapa celetukan sejumlah teman-teman mahasiswa, setidaknya sejumlah mahasiswa yang saya temukan di ITB. Sejumlah mahasiswa tersebut jarang memang mengatakan hal-hal tersebut di forum-forum umum. Mereka lebih sering terlihat di “forum dunia maya” seperti Facebook dan Twitter. Lucunya, mayoritas dari orang-orang tersebut jarang saya lihat membicarakan langsung keluhan-keluhannya pada aktivis-aktivis gerakan politik mahasiswa. Mereka cenderung berdiskusi dengan sesama “anti” gerakan politik. Alhasil, pemikiran mereka “terkunci” pada anggapan-anggapan yang ada pada mereka dan semakin keras kepala terhadap pendapat mereka.




Tidak hanya itu, saya juga sering menemukan di “dunia maya” sejumlah mahasiswa ITB dan mahasiswa kampus lain yang bilang,

“Untuk apa melakukan hal yang ga konkrit! Bisanya kritik-kritik aja! Kita mahasiswa mesti menghasilkan solusi dong!”

“Kenapa sih ngomongin bangsa dan hal-hal yang melangit, tapi masyarakat sekitar juga belum beres dan belum tersentuh. Mendingan langsung turun ke sekitar”

Saya terus terang tidak paham dan tidak mengerti teori darimana yang menjadi justifikasi sejumlah mahasiswa tersebut. Jangan dulu berbicara teori, bahkan pengalaman empiris belum tentu. Dari pengalaman empiris saya dan beberapa teman yang aktif dalam gerakan politik mahasiswa, mayoritas mahasiswa yang berkata pedas terhadap gerakan politik mahasiswa itu juga memang jarang ikut aktivitas politik mahasiswa.


Jarang (atau bahkan tidak pernah?) ikut demonstrasi tapi berbicara lantang mengenai demonstrasi karena melihat sisi jeleknya di media. Ada pula yang jarang (atau bahkan tidak pernah?) ikut kajian politik tapi berbicara lantang bahwa wacana-wacana saja tidak penting. Ada pula yang skeptis kalau diajak berbicara bangsa karena itu omongan berat. Kalau diteliti, saya yakin ada ratusan alasan yang menjadi justifikasi mahasiswa-mahasiswa ini untuk malas gerakan politik.

Saya pernah membaca buku mengenai Rekayasa Sosial, pengarangnya seorang dosen Universitas Padjadjaran, yaitu Dr. Jalaluddin Rahmat. Meskipun ia terkenal sebagai tokoh JIL (atau tasawuf?), namun ilmunya mengenai Rekayasa Sosial tidak bisa dianggap remeh. Dalam buku tersebut, saya menemukan jenis-jenis kesalahan berpikir yang seringkali terjadi, dan ketika saya amati, hal itu juga terjadi di mahasiswa ITB, setidaknya sejumlah mahasiswa ITB yang sering mengeluhkan gerakan politik mahasiswa.

Kesalahan Berpikir (Logical Fallacy)

Kesalahan berpikir yang seringkali saya temukan pada sejumlah mahasiswa ITB ketika menanggapi permasalahan-permasalahan gerakan eksternal adalah overgeneralisasi, polarisasi, linear, deterministik, membandingkan yang tidak apple to apple, dan treatment yang sama.

Overgeneralisasi adalah kesalahan berpikir yang mengambil kesimpulan umum hanya dari satu-dua kasus saja. Apalagi apabila melihatnya hanya di televisi. Mahasiswa yang bilang demo itu tidak intelek, mengganggu ketertiban, dan sebagainya adalah mahasiswa yang melakukan overgeneralisasi hal ini. Saya selama di ITB setidaknya sudah 17 kali melakukan demonstrasi. Dari 17 kali tersebut, demo yang saya ikuti hanya 1 kali ricuh. Itupun bukan dari faktor internal barisan demo, namun dari massa aksi elemen lain. Sehingga salah ketika mahasiswa ada yang bilang demo itu tidak intelek, mengganggu ketertiban umum, dan berbagai macam alasan lainnya jika ia baru satu-dua kali demo dan menonton di televisi saja.

Kesalahan berpikir lainnya adalah polarisasi. Kesalahan berpikir ini cenderung mempertentangkan sesuatu yang tidak perlu dipertentangkan. Contohnya adalah “lebih baik gerakan horizontal daripada gerakan vertikal”. Hal ini juga merupakan kesalahan berpikir yang fatal. Pertanyaan saya adalah, untuk apa mempertentangkan? Ini adalah pemikiran yang sangat picik. Untuk menanggapi isu kenaikan harga BBM, apakah bisa dijawab dengan gerakan horizontal? Untuk menanggapi blok-blok migas kita yang diberikan kepada perusahaan asing, apakah bisa dijawab dengan gerakan horizontal? Untuk menanggapi kasus korupsi Wisma Atlet, bisakah dengan gerakan horizontal?

Gerakan vertikal ataupun horizontal, kesemuanya bersifat saling melengkapi. Ada hal-hal yang tidak bisa dijawab dengan gerakan horizontal, dan adapula hal-hal yang tidak bisa dijawab dengan gerakan vertikal. Sehingga, tidak perlu ada lagi pertentangan-pertentangan kosong yang diada-adakan untuk menambah alasan untuk tidak bergerak secara politik, padahal malas.

Kesalahan berpikir lainnya adalah linear. Ini mungkin salah satu efek dari belajar eksak dan teknik. Sehingga seringkali kita berpikir bahwa sesuatu itu linear, padahal sangat-sangat belum tentu. Contohnya adalah, “buat apa mikirin bangsa toh yang internal aja belum beres”. Contoh lainnya adalah, “buat apa mikirin bangsa yang terlalu melangit, toh masyarakat sekitar Bandung juga banyak yang masih bermasalah”. Inilah kesalahannya. Teori mana yang menyatakan bahwa ada hubungan linear antara kondisi internal kampus dengan kondisi bangsa? Teori mana juga yang menyatakan bahwa ada hubungan linear antara kondisi bandung dengan kondisi bangsa? Mungkin memang berhubungan, namun belum tentu linear kan?

Kesalahan berpikir lainnya adalah deterministik. Pola pikir ini juga merupakan dampak belajar eksak dan teknik. Pola pikir deterministik melihat bahwa sesuatu hal tidak berubah kondisinya, variabel-variabelnya, relasi-relasinya, dan sebagainya. Sehingga tidak ada sikap politik yang abadi. Hari ini kita menolak kenaikan harga BBM, hari esok ataupun enam bulan lagi belum tentu. Pola pikir deterministik ini juga yang menjebak mahasiswa pada pikiran bahwa kondisi perpolitikan Indonesia itu kondisi yang eksak, mudah dihitung-hitung. Padahal, kita sama-sama menyadari bahwa sebagian besar filsuf mengatakan bahwa politik adalah art. Bukan sebuah hitung-hitungan belaka. Menurut kajian permodelan, sistematis, dan berlandaskan metodologi ilmiah dan teori-teori tertentu merekomendasikan bahwa harus dilakukan kebijakan A. Namun sangat-sangat mungkin kebijakan A tidak jadi diambil, dan diambilah kebijakan lain, bahkan hingga setengah jam sebelum penentuan keputusan akhir. Its called politics!

Kesalahan berpikir lainnya adalah membandingkan yang tidak apple to apple. Membandingkan sesuatu yang tidak apple to apple adalah sebuah kepicikan. Contoh yang sering terjadi adalah membandingkan harga BBM antara negara Indonesia dengan negara X yang notabene lebih tinggi harganya. Sedangkan kita sama-sama mengetahui murah atau mahalnya suatu barang itu sangat relatif. Sebuah mobil seharga Rp.400 juta menurut orang yang penghasilan per bulannya Rp.10 juta adalah mobil yang mahal. Namun menurut orang yang penghasilan per bulannya Rp.500 juta mobil itu tergolong murah. Begitu juga dengan harga BBM. Perbandingannya bukan pada negara lain, atau jika ingin dibandingkan sekalipun, bandingkan dengan negara lain yang pendapat per kapita rata-rata masyarakatnya tidak beda jauh dengan Indonesia.

Kesalahan berpikir lainnya adalah treatment yang sama. Maksud dari kesalahan berpikir ini adalah menganggap bahwa treatment terhadap sebuah objek akan menghasilkan output yang sama jika kita melakukan treatment yang sama terhadap objek lainnya. Sekali lagi, padahal hal ini belum tentu sama. Itulah mengapa dokter selalu mendiagnosa sekomprehensif mungkin gejala-gejala yang timbul pada pasiennya. Pasien A datang ke dokter karena demam, pasien B juga. Lantas apakah akan diberi obat yang sama dan dosis yang sama pula? Hal ini bergantung pada banyak faktor, seperti penyakit sesungguhnya (karena demam adalah gejala dari banyak penyakit, namun bukan penyakitnya itu sendiri), usia, berat badan, dan kontraindikasi jika menggunakan obat yang akan direkomendasikan. Sehingga salah juga jika kita menilai upaya konversi ke gas akan memakan waktu dua tahun di Venezuela, sama dengan apabila diterapkan di Indonesia. Padahal belum tentu kan? 

***

Itulah beberapa jenis kesalahan berpikir yang sering saya temukan di mahasiswa ITB terkait dengan gerakan politik mahasiswa. Sehingga hal pertama yang patut kita hindari adalah kesalahan-kesalahan berpikir tersebut. Selanjutnya, mari kita bahas juga masalah lainnya dalam gerakan politik, yaitu permasalahan mental kelas menengah.

Fenomena Kelas Menengah

Salah satu fenomena menarik yang harus kita bahas dalam gerakan politik adalah fenomena kelas menengah. Fenomena ini sangat mengemuka di awal tahun 2011 setelah beberapa media mengangkat mengenai hal ini. Pertumbuhan kelas menengah di Indonesia mencapai jumlah yang besar pada akhir-akhir ini. Saya tidak akan membahas mengenai parameter seseorang dikatakan kelas menengah. Hal ini karena saya menemukan banyak indikator yang berbeda-beda antara suatu lembaga dengan lembaga lainnya. Lagipula hal tersebut terlalu teoritis.

Saya hanya akan membahas mengenai karakter kelas menengah. Karakter kelas menengah yang disebutkan beberapa ahli dalam media tersebut adalah konsumtif, apolitis, suka dengan minat-minat dan komunitas tertentu, suka yang instan, dan tidak merasa terganggu selama tidak ada yang mengusik kepentingan mereka.

Sekarang kita lihat di kampus ITB. Jawab dalam hati bagi anda yang membaca tulisan saya ini. Pertama, apakah mahasiswa ITB sekarang tergolong konsumtif? Sedangkan kita melihat seseorang yang kost di Cisitu saja membawa mobil ke kampus. Kasus lainnya adalah mahasiswa yang dalam dua hari saja menghabiskan pulsa Rp.100 ribu, mending untuk membicarakan hal-hal yang bermanfaat. Sepengamatan saya, pulsa tersebut diguakan untuk ngetwit, ngebebe, nge-efbe, dan lain-lain. Kedua, apakah mahasiswa ITB sekarang mayoritas apolitis? Jika kita sering menemukan kondisi-kondisi yang saya bahas pada subbab sebelumnya itu terjadi. Ketiga, apakah mahasiswa ITB sekarang suka dengan komunitas-komunitas peminatan tertentu? Jika kita sudah sering menemukan fenomena-fenomena seperti TEDx, StudentXCEO, AIESEC, Ganesha Hijau, I3M, dan berbagai komunitas populer lainnya. Keempat, apakah mahasiswa ITB sekarang suka dengan hal-hal yang instan? Jika kita melihat jika kajian politik banyak peminatnya, namun jika udah diajak demo susahnya minta ampun. Jika diskursus-diskursus banyak terjadi di FB ketimbang di media nyata. Kelima, apakah mahasiswa ITB tidak merasa terganggu selama tidak ada yang mengusik kepentingan mereka? Jika pada saat berbicara isu K3L atau wisuda ramai sekali. Namun berbicara bangsa, tidak seramai isu-isu pop tersebut.

***

Dari fenomena ini, kita bisa belajar, bahwa tugas kita untuk menyadarkan mahasiswa ITB tentang arti penting mereka berpolitik sangat besar. Lantas, apakah arti penting mahasiswa berpolitik? Mari kita simak pembahasan berikut.

Mengapa Mahasiswa Berpolitik

Titik balik saya masuk ke dunia politik mahasiswa adalah ketika saya mengikuti Diklat Aktivis Terpusat yang hingga sekarang masih diadakan oleh Kabinet KM ITB. Saya saat itu perwakilan himpunan yang hanya mengerti kaderisasi dan pengabdian masyarakat. Pada suatu ketika di DAT, materi yang dibahas adalah mengenai krisis ekonomi global yang melanda negara-negara besar di dunia, terutama sektor keuangannya. Saat itu materi disampaikan oleh ekonom kritis nan cerdas, Dr. Ichsanuddin Noorsy. Beliau memaparkan mengenai kondisi sebenarnya dari krisis-krisis tersebut dan setting di balik hal tersebut. Itulah yang dinamakan konspirasi.

Saat itu beliau menyajikan data dan membuat mata peserta DAT terbelalak bahwa kebijakan di negeri ini (terutama dalam bidang ekonomi) adalah pesanan asing. Beliau membukakan dokumen CIA yang dia dapat langsung dari website CIA dan hanya bisa diakses oleh orang-orang tertentu saja. Dalam dokumen tersebut beliau menunjukkan kata-kata yang paling menohok saya. Kata-katanya (dalam bahasa inggris) jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia kurang lebih seperti ini: “Kita (CIA dan Amerika) tidak perlu ambil pusing siapa Presiden yang akan terpilih di Indonesia tahun 2009 (karena waktu DAT itu awal 2009, red) apakah itu Soesilo Bambang Yudhoyono atau bukan, asalkan kebijakan ekonomi Indonesia tetap membuka keran bagi liberalisasi ekonomi, sumber daya alam, dan tetap mematuhi aturan-aturan yang ada pada Washington Consensus.

Lantas saat itu pula nurani ini menyala-nyala, kekesalan membuncah di hati saya, dan kegelisahan menumpuk pada segenap perasaan. Mengapa hal ini bisa terjadi?

Lantas sejak itulah saya mengalihkan topik-topik buku bacaan saya dari yang tadinya hanya sekedar komik, ataupun buku-buku keIslaman, menjadi buku-buku yang membahas mengenai kenegaraan dan kebangsaan. Pasca itu pula, sering sekali menemukan fakta-fakta konspirasi itu, baik dari buku-buku, internet, diskusi dengan tokoh, ataupun diceritakan langsung oleh oknum pemerintahan (dia benar-benar salah satu pejabat di pemerintahan). Percayalah bahwa fakta ini terjadi. Artinya, ini berarti merupakan penjajahan terbuka bagi bangsa kita (lewat paket kebijakan) yang nyatanya memang banyak sekali, sangat banyak bahkan, yang bertentangan dengan UUD 1945. Padahal, dalam konsep bangsa-negara (nation-state), satu-satunya hal yang bisa menjadi ikatan kita bersama adalah bukan pada suku (karena Indonesia banyak suku), bukan pula tradisi (karena tradisi penduduk Indonesia sangat bervariasi), bukan pula agama (karena agama yang diakui di Indonesia tidak hanya satu), namun konstitusi. Sehingga, segala pengkhianatan atas konstitusi merupakan pengkhianatan kepada bangsa sendiri, umat sendiri, masyarakat sendiri, dan merupakan amanah bagi pemerintah untuk menjalankan dan menegakkan ikatan konstitusi tersebut (termasuk hak dan kewajiban konstitusional rakyat Indonesia).

Sehingga, ketika ditanya apakah pentingnya gerakan politik mahasiswa? Jawabannya adalah bahwa karena mahasiswa harus selalu melawan! Melawan terhadap pengkhianatan amanah rakyat yang diberikan kepada pemerintah (eksekutif, legislatif, dan yudikatif). Perlawanan ini adalah masalah filosofis. Sedangkan masalah teknis, bisa dilakukan dengan berbagai cara. Bisa dengan demonstrasi, audiensi, rapat dengar pendapat, menulis di media, membuat kajian dan diskusi, dan lainnya. Jangan percaya mentah-mentah pada pemerintah. Sudah banyak bukti undang-undang yang inkonstitusional (bertentangan dengan UUD 1945), perpres yang juga inkonstitusional, dan serangkaian kebijakan lain. Kemudian yang perlu dicamkan adalah, pengkhianatan ini tidak semata-mata dilakukan oleh orang yang mengerti ataupun orang yang sadar, namun orang yang tidak mengerti dan tidak sadarpun ikut berbuat hal tersebut, entah karena apa.

Semoga kalian lebih punya semangat untuk melawan!

Bacalah sebanyak-banyaknya buku, terutama buku-buku kritis para tokoh, bukan buku pencitraan atau buku penjilatan orang-orang terhadap tokoh besar. Salam cinta! Salam cinta dan kasih sayang untuk perjuangan dan perubahan!

Hidup Mahasiswa!

Hidup Rakyat Indonesia!

Tidak ada komentar: