Kamis, 08 Juli 2010

Rajapolah dan Potensi Ekonomi Kreatif Indonesia

Rajapolah dan Potensi Ekonomi Kreatif Indonesia

Jika kita ke Tasikmalaya dari arah Bandung, biasanya akan melewati sebuah kota kecil tepat sebelum Tasikmalaya: Rajapolah. Kota ini dikenal karena ekonomi rakyat yang cukup menonjol di sana, yaitu kerajinan. Banyak kerajinan bisa ditemui di sana, mulai dari tas, sandal, dompet, tempat lampu, peralatan makan, dan lain sebagainya. Bahan-bahan kerajinan di sana mayoritas berbahan bambu, serat alam, akar-akaran, rotan, dan lainnya.

Adanya perekonomian kerajinan ini menjadi identitas tersendiri bagi Rajapolah, menjadikan kota ini juga sebagai sentra industri kerajinan di bagian timur Jawa Barat. Sentra mencirikan segala rantai usaha hampir dapat ditemukan di daerah tersebut, mulai dari beberapa bahan bakunya, produksi barangnya, hingga penjualannya. Sehingga tidak heran apabila banyak kios-kios yang dibelakangnya langsung rumah pembuatan produk kerajinan.

Namun nama Rajapolah tidaklah setenar Tajur di Bogor, Cibaduyut di Bandung, atau Pekalongan sebagai pusat kerajinan juga. Hal ini turut menjadi perhatian warga sekitar yang mengaku bahwa omsetnya semakin turun karena namanya yang tidak setenar dahulu.

Merujuk pada kebijakan pemerintah dalam hal ini Departemen Perdagangan RI yang memfokuskan pengembangan sektor industri berbasis kerakyatan dengan ekonomi kreatif, maka seharusnya peran pemerintah dalam menjadi katalis pertumbuhan dan sustainability industri yang sudah ada perlu semakin ditingkatkan. Industri kerajinan termasuk pada sektor ekonomi kreatif, yang berarti Rajapolah perlu mendapat perhatian lebih dari pemerintah. Pemerintah bisa berperan dalam melakukan support terhadap rantai nilai industri ini.

Rantai nilai industri kerajinan ada pada ide kreasi, rantai produksi, komersialisasi, hingga distribusi. Ketika kita melihat tentang ide kreasi, maka sejenak kita akan berpikir bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang kreatif. Ini adalah potensi awal masyarakat Indonesia, karena memang Indonesia adalah negara yang majemuk. Tidak kurang dari 400 suku bangsa berada di Indonesia dengan kearifan dan karakter yang mungkin berbeda-beda. Namun, yang terlihat sekarang adalah bahwa variasi kearifan lokal ini tidak termanfaatkan dengan baik. Kesan yang timbul adalah masyarakat lebih cenderung menjadi pencontoh apa yang telah ada, meskipun ada perbaikan dari itu. Kita bisa belajar dari kasus rumah makan Padang yang sudah menyebar seantero Indonesia, yang tidak semua pemiliknya adalah orang asli Minangkabau. Bisa jadi tempat makan yang terkenal di Cirebon bukan rumah makan Cirebon, tetapi rumah makan Padang. Serupa, kita bisa menemukan kerajinan yang mirip Rajapolah di tempat lain di Indonesia. Sehingga pada akhirnya, preferensi konsumen tidak melulu cocok dengan produk yang ditawarkan, sehingga peran Pemerintah dalam meningkatkan ciri khas kearifan lokal sangat dituntut dalam konteks ini.

Ketika kita berbicara rantai produksi, kita akan berbicara pula masalah ketersediaan bahan baku, dan predikat kaya sumber daya alam bagi Indonesia masih relevan sampai sekarang, sehingga ketersediaan bahan baku bukan hal yang mengkhawatirkan. Justru yang harus menjadi sorotan selanjutnya adalah pada komersialisasi dan distribusi. Kasus di Rajapolah, Cibaduyut, hingga kerajinan kulit di Manding Yogyakarta mengajarkan pada kita bahwa kemampuan industri-industri kerajinan untuk melakukan komersialisasi dan jaringan distribusi masih terbatas.

Dalam hal ini, Pemerintah dalam konteks ini adalah pemerintah daerah setempat seharusnya bisa mengambil peran lebih dalam proses komersialisasi ini. Kita bisa belajar dari Pemerintah Kabupaten Bantul yang mengembangkan sarana website untuk membantu empat sentra kerajinan di kabupaten tersebut.

Ekonomi kreatif bisa jadi merupakan pola pembangunan ekonomi kerakyatan yang saat ini paling cocok diterapkan di Indonesia dikarenakan potensi keberagaman Indonesia dan keinginan akan terwujudnya kemandirian masyarakat dimulai dari unit-unit usaha yang kecil di daerah-daerah. Diharapkan industri kecil berbasis kerakyatan kedepannya dapat memperbesar perannya dalam menyumbang PDB Indonesia yang sampai saat ini masih didominasi dari sektor industri besar.

Ramadhani Pratama Guna

Mahasiswa Teknik Industri ITB Angkatan 2007

http://iniblogdhani.blogspot.com

3 komentar:

Anonim mengatakan...

emm, dapet info baru, sip.

Apa kak peran pemerintah untuk menunjang industri kreatif itu?

masalahnya dimana klo penduduk lokal banyak mencontoh karya-karya yang sudah ada dan bukan hasil daerahnya? bukankah kita bukan membuat kesuksesan baru tapi mengikuti sukses yang sudah ada?

mungkin harus seimbang antara menjadi produktif dalam karya-karya lokal dengan mengembangkan apa yang sudah ada..


-Puput-

Ramadhani Pratama Guna mengatakan...

peran pemerintah ada kok ditulisannya, memang masih sebatas konsep, tapi kita bisa mengambil contoh pemkab Bantul..

masalahnya klo tidak paham kearifan lokal: jati diri budaya makin luntur, dan variasi budaya Indonesia makin menurun. Ga apa2 sih sebenarnya ngikutin sukses yang sudah ada, tapi yang sukses tersebut tidak selamanya sukses, sekalinya jatuh ya jatuh semua yang ngikut2nya..

sepakat dengan itu, ujung2nya sebenarnya perbaikan..

mondiale mengatakan...

L'économie mondiale doit être améliorée de tous les côtés. Bonjour les amis.