Senin, 15 Desember 2008

Baiti Jannati, Aliyi Jannati [1]

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. at-Tahrim, 66:6).

“Koq udah jarang pulang ke rumah sih? Jangan-jangan udah “punya” nih di Bandung...”. Mungkin beberapa ikhwan yang menyandang status perantauan pernah mendapat statemen di atas oleh orang tuanya, ibu atau bapak. Sepintas kalimat tersebut memang sepele, semua orang juga pasti beranggapan kalo kalimat tersebut hanya sebagian senda gurau orang tua dalam menegur secara halus anaknya yang sudah jarang menengok ke kampung halaman. Entah itu karena amanah akademik ataupun amanah lain yang mungkin saja menumpuk dan tidak bisa menyempatkan menjenguk orangtua di rumah (tentunya jarak yang masih tetap feasible untuk menjenguk dalam frekuensi sedang).

Akan tetapi, jikalau kita selami lebih dalam, maka di kalimat bold tersebut tersirat bahwa orangtua belum memahami lebih dalam tentang akhlak pergaulan islami. Ada tiga kemungkinan yang dapat melatarbelakangi hal ini. Pertama, mungkin saja orangtua memang pure bercanda. Kedua, mungkin saja orangtua sudah memahami tentang akhlak pergaulan islami, pura-pura tidak tahu dan ingin mengetahui saja reaksi anaknya ketika diberi pertanyaan seperti itu. Ketiga, mungkin saja orangtua memang benar-benar belum paham.

Kejadian sering terjadi adalah merujuk ke kemungkinan ketiga dimana orangtua benar-benar tidak tahu dan tidak memahami. Ironisnya lagi jika itu adalah orangtua dari seorang aktivis dakwah yang terkenal dengan penyuaraan lantangnya terhadap penegakan nilai-nilai islam di lingkungan sekitarnya. Mereka yang biasa syuro berkoordinasi pagi-pagi redup, yang piawai dalam menyampaikan materi tarbiyah ke mad’unya, yang jago memimpin acara syiar islam di kampus, tiba-tiba tumbang tak berdaya ketika harus dihadapakan pada da’wah terhadap keluarga, ke bapak dan ibu, ayah bunda, abi ummi, atau papa mama. Padahal da’wah yang mereka sampaikan insya Allah baik dan sangat bermanfaat bagi keluarga apabila tersampaikan, kenyataannnya, mereka hanya terdiam tindakan ketika melihat ayah-ayah mereka melewatkan waktu awal sholat di rumah.

Mereka mungkin hanya tersenyum terpaksa ketika menyaksikan ibu-ibu mereka tidak memakai jilbab ketika “hanya” sekedar menaruh sesuatu di pekarangan rumah, yang hanya berjarak tidak sampai tiga meter dari pintu rumah mereka. Mereka juga mungkin tersenyum sakit ketika melihat adik ABG mereka lebih jago dalam update lagu-lagu terbaru yang lagi ngetrend. Atau konflik yang sangat sering terjadi di kalangan aktivis da’wah yaitu friksi dengan pihak keluarga ketika ingin mengadakan pernikahan dan walimatul ‘ursy. Di suatu pihak menginginkan ikhwan-akhwat terpisah dengan baik, di suatu sisi mempertanyakan mengapa hal itu dilakukan, dsb.

Da’wah terhadap keluarga memegang peranan sangat penting dalam membangun perdaban islam yang lebih baik. Hal ini dikarenakan keluarga adalah tempat first time study bagi anak dan ke-efektifan transfer nilai dari orangtua ke anaknya. Keluarga adalah tempat “kembali” seseorang di dunia jikalau perasaannya sedang bergejolak, baik senang maupun sedih. Keluarga adalah tempat berbagi dan boleh dibilang komunitas manusia paling nyaman bagi manusia itu sendiri (ia dan keluarganya, red).

Da’wah pada keluarga secara orientasi terbagi menjadi tiga. Pertama, da’wah vertikal ke atas, yaitu da’wah langsung kepada kedua orangtua. Kedua, da’wah horizontal kanan-kiri, yaitu da’wah kepada saudara kandung (kakak-adik). Yang ketiga, terutama yang sudah menikah, yaitu da’wah vertikal ke bawah kepada keturunan dan istri-istri.

Adalah tidak dibenarkan apabila seorang aktivis da’wah sangat sering “mentelantarkan” keluarganya di rumah dan membiarkan suasana keluarganya tidak mendapat sentuhan keindahan islam kecuali karena pengetahuan dari kecil, selebihnya, anaklah yang seharusnya bisa membawa oase penyegar. Salim A. Fillah, dalam bukunya Saksikan Bahwa Aku Seorang Muslim mengatakan bahwa sesekali meninggalkan aktivitas da’wah di luar bukan berarti berpaling dari da’wah, jika memang hal itu digunakan untuk memberi perhatian kepada keluarganya.

Setelah ini akan coba dibahas tentang langkah-langkah yang mungkin bisa dicapai dalam da’wah keluarga. Insya Allah pada postingan berikutnya.

Tidak ada komentar: