“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari
api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya
malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa
yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang
diperintahkan.” (QS. at-Tahrim, 66:6).
“Koq udah jarang pulang ke rumah sih? Jangan-jangan udah “punya” nih
di Bandung...”. Mungkin beberapa ikhwan yang menyandang status
perantauan pernah mendapat statemen di atas oleh orang tuanya, ibu atau bapak.
Sepintas kalimat tersebut memang sepele, semua orang juga pasti beranggapan
kalo kalimat tersebut hanya sebagian senda gurau orang tua dalam menegur secara
halus anaknya yang sudah jarang menengok ke kampung halaman. Entah itu karena
amanah akademik ataupun amanah lain yang mungkin saja menumpuk dan tidak bisa
menyempatkan menjenguk orangtua di rumah (tentunya jarak yang masih tetap feasible untuk menjenguk dalam frekuensi
sedang).
Akan tetapi, jikalau kita selami
lebih dalam, maka di kalimat bold
tersebut tersirat bahwa orangtua belum memahami lebih dalam tentang akhlak
pergaulan islami. Ada tiga kemungkinan yang dapat melatarbelakangi hal ini.
Pertama, mungkin saja orangtua memang pure
bercanda. Kedua, mungkin saja orangtua sudah memahami tentang akhlak pergaulan
islami, pura-pura tidak tahu dan ingin mengetahui saja reaksi anaknya ketika
diberi pertanyaan seperti itu. Ketiga, mungkin saja orangtua memang benar-benar
belum paham.
Kejadian sering terjadi adalah
merujuk ke kemungkinan ketiga dimana orangtua benar-benar tidak tahu dan tidak
memahami. Ironisnya lagi jika itu adalah orangtua dari seorang aktivis dakwah
yang terkenal dengan penyuaraan lantangnya terhadap penegakan nilai-nilai islam
di lingkungan sekitarnya. Mereka yang biasa syuro berkoordinasi pagi-pagi
redup, yang piawai dalam menyampaikan materi tarbiyah ke mad’unya, yang jago
memimpin acara syiar islam di kampus, tiba-tiba tumbang tak berdaya ketika
harus dihadapakan pada da’wah terhadap keluarga, ke bapak dan ibu, ayah bunda,
abi ummi, atau papa mama. Padahal da’wah yang mereka sampaikan insya Allah baik
dan sangat bermanfaat bagi keluarga apabila tersampaikan, kenyataannnya, mereka
hanya terdiam tindakan ketika melihat ayah-ayah mereka melewatkan waktu awal
sholat di rumah.
Mereka mungkin hanya tersenyum
terpaksa ketika menyaksikan ibu-ibu mereka tidak memakai jilbab ketika “hanya”
sekedar menaruh sesuatu di pekarangan rumah, yang hanya berjarak tidak sampai
tiga meter dari pintu rumah mereka. Mereka juga mungkin tersenyum sakit ketika
melihat adik ABG mereka lebih jago dalam update
lagu-lagu terbaru yang lagi ngetrend.
Atau konflik yang sangat sering terjadi di kalangan aktivis da’wah yaitu friksi dengan pihak keluarga ketika
ingin mengadakan pernikahan dan walimatul ‘ursy. Di suatu pihak menginginkan
ikhwan-akhwat terpisah dengan baik, di suatu sisi mempertanyakan mengapa hal
itu dilakukan, dsb.
Da’wah terhadap keluarga memegang
peranan sangat penting dalam membangun perdaban islam yang lebih baik. Hal ini
dikarenakan keluarga adalah tempat first
time study bagi anak dan ke-efektifan transfer nilai dari orangtua ke
anaknya. Keluarga adalah tempat “kembali” seseorang di dunia jikalau
perasaannya sedang bergejolak, baik senang maupun sedih. Keluarga adalah tempat
berbagi dan boleh dibilang komunitas manusia paling nyaman bagi manusia itu
sendiri (ia dan keluarganya, red).
Da’wah pada keluarga secara
orientasi terbagi menjadi tiga. Pertama, da’wah vertikal ke atas, yaitu da’wah
langsung kepada kedua orangtua. Kedua, da’wah horizontal kanan-kiri, yaitu
da’wah kepada saudara kandung (kakak-adik). Yang ketiga, terutama yang sudah
menikah, yaitu da’wah vertikal ke bawah kepada keturunan dan istri-istri.
Adalah tidak dibenarkan apabila
seorang aktivis da’wah sangat sering “mentelantarkan” keluarganya di rumah dan
membiarkan suasana keluarganya tidak mendapat sentuhan keindahan islam kecuali
karena pengetahuan dari kecil, selebihnya, anaklah yang seharusnya bisa membawa
oase penyegar. Salim A. Fillah, dalam bukunya Saksikan Bahwa Aku Seorang Muslim mengatakan bahwa sesekali
meninggalkan aktivitas da’wah di luar bukan berarti berpaling dari da’wah, jika
memang hal itu digunakan untuk memberi perhatian kepada keluarganya.
Setelah ini akan coba dibahas
tentang langkah-langkah yang mungkin bisa dicapai dalam da’wah keluarga. Insya
Allah pada postingan berikutnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar