Sabtu, 19 Juni 2010

Menilik Kembali Makna Mahasiswa

Menilik Kembali Makna Mahasiswa

Pendahuluan

Sejak dahulu pembicaraan tentang mahasiswa selalu menarik perhatian diri mereka sendiri, bahkan mungkin lebih dari itu. Mahasiswa biasanya berbicara atau bahkan dikaitkan dengan kosakata-kosakata seperti bangsa, masyarakat, kebijakan publik, turun ke jalan, pengabdian masyarakat, wirausaha, gerakan, kritis, idealisme, massif, intelektual, akademisi, aktivis, politik, struktural, kultural, nilai, moral, dan beragam kata lainnya yang masih sangat banyak.

Dari banyaknya kata-kata yang dikaitkan dengan mahasiswa tersebut, kita dapat berkesimpulan dua hal, pertama tentang luasnya makna seorang mahasiswa, dan kedua berarti bahwa belum adanya atau masih buramnya benang merah dari makna mahasiswa yang sebenarnya. Banyak istilah-istilah yang sering kita temukan untuk mahasiswa seperti agent of change, guardian of value, dan iron stock1, yang sejatinya itu hanya istilah-istilah yang walaupun sangat mudah diartikan secara bahasa, namun kita tidak tahu dari mana kata itu berasal. Dari mana analisis terhadap sebuah kondisi umum sehingga keluarlah kata-kata tersebut.

Selama ini, wacana yang berkembang tentang identitas mahasiswa adalah selalu berkutat pada slogan “PFP”, atau lebih dikenal dengan Peran, Fungsi, dan Posisi mahasiswa. Secara logika, alur ini terlihat sangat tidak sistematis dan terkesan bias. Tidak sistematis karena jika kita cari keterhubungan antara peran dan fungsi dengan posisi, ini merupakan alur balik yang tidak akan berhubungan. Kemudian, ketika membahas peran dan fungsi, maka bisa timbul bias dalam pembahasan. Pasalnya, tidak dapat ditemukan perbedaan yang tegas antara makna peran dan fungsi. Peran adalah perangkat tingkah yang diharapkan dimiliki oleh orang yang berkedudukan dalam masyarakat2. Sementara fungsi adalah kegunaan suatu hal3. Jika kita dalami, keduanya hampir sama, berkaitan dengan tingkah laku sebuah entitas dan dihubungkan atau dibenturkan dengan entitas lain di luarnya.

Sementara, Tim Materi Metode, mulai dari PRO KM 2009 yang lalu juga sudah sepakat bahwa hal ini (jargon PFP), diganti dengan jargon Posisi, Potensi, dan Peran mahasiswa. Jargon ini lebih rasional alur berpikirnya, sehingga dapat menuntun kita untuk menyimpulkan peran dengan lebih baik. Terlebih dahulu kita definisikan Posisi kita sebagai mahasiswa terletak di mana, jika dilihat dari entitas lainnya seperti masyarakat, pemerintah, dan sebagainya. Lalu, dari posisi tersebut kita simpulkan lagi mahasiswa mempunyai potensi apa. Misalkan, karena mahasiswa bukan berada di posisi pemerintah, maka mahasiswa tidak punya potensi untuk mengatur kebijakan publik. Potensi dalam hal ini merujuk kepada kekuatan atau kemampuan suatu entitas4. Kemudian, dengan potensi yang dimiliki mahasiswa, mahasiswa bisa berperan seperti apa. Hal ini tentunya rasional, kita tidak akan bisa melakukan sesuatu hal jika kita tidak mempunyai kemampuan atau kekuatan dalam melakukan hal tersebut.

Posisi Mahasiswa

Sekarang dapat dilontarkan sebuah pertanyaan, lalu di mana posisi mahasiswa dalam tatanan masyarakat? Ada berbagai referensi yang menjabarkan klasifikasi masyarakat, salah satunya adalah model yang dikembangkan oleh Adalbert Evers dan Jean-Louis Laville, dalam bukunya The Third Sector In Europe yang menyatakan bahwa masyarakat terbagi ke dalam tiga kelompok:

1.

State Society, atau bisa disebut masyarakat politik, dalam hal ini adalah masyarakat yang berkaitan langsung dengan kepengurusan publik, atau kepengurusan kebijakan-kebijakan publik. Secara umum masyarakat politik ini adalah pemerintah, baik pemerintah pusat, pemerintah propinsi, kabupaten, dan sebagainya. Termasuk juga anggota DPR RI, DPRD, DPD, MPR, dan lembaga-lembaga negara seperti BUMN, dan sebagainya.

2.

Market Society, atau bisa disebut juga masyarakat ekonomi, yang berarti masyarakat yang bekerja di berbagai sektor privat atau para pengusaha, dan entitas lain yang tidak berkaitan dengan sektor publik.

3.

Communities, dalam hal ini yang dimaksud adalah masyarakat sipil dan institusi-institusi yang berhubungan dengannya.

Masyarakat sipil sendiri mempunyai lima ciri. Pertama, masyarakat sipil memusatkan perhatiannya pada tujuan-tujuan publik bukannya tujuan privat. Kedua, masyarakat sipil dalam beberapa hal berhubungan dengan Negara tetapi tidak berusaha merebut kekuasaan atas Negara atau mendapat posisi dalam negara; ia tidak berusaha mengendalikan politik secara menyeluruh. Ketiga, masyarakat sipil mencakup keberagaman. Artinya, organisasi yang sektarian dan memonopoli ruang fungsional atau politik dalam masyarakat bertentangan dengan semangat pluralistik. Keempat, masyarakat sipil tidak berusaha menampilkan seluruh kepentingan pribadi atau komunitas. Namun, kelompok-kelompok yang berbeda akan menampilkan atau mencakup kepentingan berbeda pula. Kelima, masyarakat sipil haruslah dibedakan dari fenomena Civic community yang lebih jelas meningkatkan demokrasi5.

Masyarakat sipil mencakup beragam organisasi, formal dan informal, meliputi: ekonomi, kultural, informasi dan pendidikan, kepentingan, pembangunan, berorientasi isu, dan kewarganegaraan6. Seringkali organisasi yang menjadi bagian dari masyarakat sipil adalah kalangan NGOs (Non Government Organizations/Lembaga Swadaya Masyarakat-LSM) dan lembaga-lembaga kemasyarakatan yang berbasis komunitas dan professional yang didalamnya ada kelompok keagamaan yang kritis independen, kaum bisnis maupun media. Jika kita mengacu pada pengertian ini, tampaknya civil society juga bisa merupakan kelas menengah. Kelas menengah di dalamnya terdapat mahasiswa, aktivis LSM, dan kelompok-kelompok pro demokrasi7.

Seorang individu bisa tergolongkan ke dalam lebih dari satu kelompok8. Misalkan seorang ayah yang bekerja di bank milik swasta, tetapi ia adalah anggota sebuah LSM, maka bisa juga digolongkan masyarakat ekonomi dan sipil sekaligus.

Dari penjabaran mengenai posisi ini, bisa kita simpulkan bahwa sebenarnya mahasiswa berada di posisi masyarakat sipil. Namun perlu dilakukan spesifikasi lebih dalam lagi mengenai posisi ini, terutama hal apa yang membedakan mahasiswa dengan masyarakat sipil biasa. Letak perbedaannya adalah lebih kepada kekhususan mahasiswa sendiri yang sedang melalui proses pendidikan, sehingga mahasiswa bisa disebut sebagai masyarakat sipil terpelajar9.

Potensi Mahasiswa

Karena mahasiswa berada pada posisi masyarakat sipil terpelajar, selanjutnya kita lihat potensi apa yang dimiliki mahasiswa terkait dengan posisinya. Berikut beberapa potensi mahasiswa sebagai masyarakat sipil terpelajar:

1.

Kritis, hal ini wajar karena sifat dari masyarakat sipil yang cenderung peduli terhadap realitas sosial yang ada di sekitarnya10, terutama pengelolaan negara, sekalipun masyarakat sipil berbeda dengan masyarakat politik11.

2.

Idealis, semua hal dilihat dan ingin dibentuk dalam tataran ideal. Baik dalam kehidupan mahasiswa itu sendiri, keorganisasian, berbagai sistem dan kebijakan dalam masyarakat maupun dalam kehidupan negara. Mahasiswa biasanya menjadi orang yang paling resah dengan ketidakberesan, benci dengan ketidakadilan, menginginkan tegaknya aturan dan norma kebaikan. Dengan begitu tepatlah manakala mahasiswa disebut sebagai social control, mengkritisi setiap ketidakberesan berjalannya sistem di masyarakat maupun negara12.

3.

Semangat / Enerjik, hal ini nampaknya sudah sangat jelas, karena mayoritas mahasiswa adalah pemuda, dan sedari dulu pemuda memang kaum yang progressif dan enerjik, dengan semangat yang tinggi untuk mencapai apa yang diinginkannya.

4.

Independen, salah satu sifat masyarakat sipil adalah tidak selalu berusaha menampilkan kepentingan pribadi atau kepentingan kelompok13. Juga karena tidak termasuk masyarakat ekonomi, mahasiswa secara umum tidak terbebani oleh tanggung jawab financial, misalnya peraturan perusahaan yang mengikat, dan sebagainya. Juga karena tidak termasuk masyarakat politik, mahasiswa juga tidak ditunggangi oleh kepentingan-kepentingan politik pragmatis.

5.

Mempunyai Keahlian (Basis Keilmuan), ini merupakan kekuatan yang utama dimiliki oleh mahasiswa, yaitu mempunyai keahlian yang dapat ia gunakan ketika nantinya tidak lagi sebagai mahasiswa.

6.

Kemudahan Jaringan dan Afiliasi, ini dikarenakan masyarakat sipil kerap kali memiliki common enemy, dan sering menguasai ruang-ruang publik14.

7.

Multidisiplin Ilmu dan Keberagaman Wawasan, hal ini didukung oleh beragamnya masyarakat sipil, yang bisa menimbulkan beragam kepentingan, sekaligus berdampak pada luasnya wawasan dan ilmu yang dapat diaplikasikan ketika tidak lagi sebagai mahasiswa.

Peran Mahasiswa

Sekarang kita berbicara peran, peran yang bisa dilakukan mahasiswa dengan segenap potensi yang mereka miliki. Tentunya kita masih mengingat kata-kata nasihat yang sangat bagus dalam film Spiderman, “seiring kekuatan besar dituntut tanggungjawab yang lebih besar”. Maka, menjadi suatu kemestian jika memang kekuatan itu harus digunakan, jika tidak, maka kita termasuk orang-orang yang tidak bersyukur.

Lebih lanjut, kita dapat menyimpulkan beberapa peran mahasiswa yang dapat diambil, yaitu:

1.

Potensi kritis, idealis, dan independen mendorong mahasiswa berperan sebagai kontrol sosial (social control) di masyarakat15. Ketika ada perubahan sosial di masyarakat, dan ini menurut idealisme mahasiswa akan semakin membawa dampak buruk, maka saat itu pula mahasiswa biasanya melakukan tindakan. Entah dengan kajian, diskusi, membuat tulisan, aksi turun ke jalan, dan memanfaatkan ruang-ruang publik yang ada.

2.

Potensi enerjik, mempunyai keahlian, multidisiplin ilmu, dan kemudahan jaringan dapat mendorong mahasiswa untuk mempersiapkan diri untuk menjadi aktor-aktor peradaban di masa depan, ketika sudah periodenya suatu generasi tergantikan dengan generasi lainnya. Peran ini, sebenarnya mirip dengan istilah yang sudah berkembang saat ini, yaitu iron stock16. Persiapan diri mahasiswa ini harus bersifat holistik. Seorang mahasiswa paripurna haruslah mempersiapkan diri dengan memiliki integritas moral, kredibilitas sosial, dan profesionalitas keilmuan17.

3.

Potensi idealis, enerjik, dan kemudahan jaringan melengkapi peran mahasiswa sebagai kontrol sosial, bahkan lebih dari itu, yaitu sebagai unsur-unsur peubah dan motor-motor perubahan. Kita sama-sama mengetahui dari sejarah bahwa beberapa pergolakan besar bangsa ini dimotori oleh pemuda. Untuk itulah, peran sebagai kontrol sosial tidak bisa dikatakan berintegritas sebelum menjadi motor perubahan. Tentunya, perubahan ini adalah perubahan menuju arah yang lebih baik.

4.

Potensi idealis dan mempunyai keahlian juga turut menggiring paradigma masyarakat di sekitar tempat mahasiswa tinggal bahwa ada seorang yang “spesial” di masyarakat, terlebih lagi misalnya mahasiswa tersebut adalah mahasiswa perguruan tinggi yang bonafit. Hal ini mendorong mahasiswa untuk berperan sebagai salah satu panutan masyarakat, terutama kaum mudanya.

______

1Rita Junia Sari. Peran Fungsi dan Posisi Mahasiswa.

2Kamus Besar Bahasa Indonesia. Lihat “Peran”.

3Kamus Besar Bahasa Indonesia. Lihat “Fungsi”.

4Kamus Besar Bahasa Indonesia. Lihat “Potensi”.

5Larry Diamond. Developing Democracy Toward Consolidation. 2003.

6Ibid

7Muhammad A. S. Hikam. Politik Kewarganegaraan. 1999 (Jakarta: Millenium Baru).

8A. Evers dan J.L. Laville. The Third Sector In Europe. 2004.

9Henry Etzkowitz. The Triple Helix: University – Industry – Government, Innovation In Action. 2008 (New York: Routledge).

10C. Wright Mills. The Power Elite. 1956 (New York: Oxford University Press).

11Neera Chandoke. What the Hell is Civil Society? http://www.opendemocracy.net

12Cahya H.W. Peran Mahasiswa Dalam Pembangunan Daerah. 2009.

13 Larry Diamond. Developing Democracy Toward Consolidation. 2003.

14 Muhammad A.S. Hikam. Demokrasi dan Civil Society. 1996 (Jakarta: LP3ES).

15Cahya H.W. Peran Mahasiswa Dalam Pembangunan Daerah. 2009.

16, 17Ibid.

Tidak ada komentar: