Sabtu, 28 Februari 2009

Untukmu Kader Da'wah [2]

Cermin diri

 

Paham dan sadar akan kemampuan diri menjadi obrolan besar tentang cerminan diri. Di mana, setiap kita, kader da’wah, harus paham dan sadar akan potensi diri kita sendiri. Banyak di antara kita yang “tumpul” dalam berda’wah karena memilih untuk terjun ke dalam hal yang mereka sendiri tidak mampu mengimbanginya (lebih tinggi kualitasnya), juga banyak pula yang futur karena memilih untuk terjun ke dalam hal yang terlalu rendah dibanding potensi diri kita karena merasa sudah sangat bisa, sehingga pada akhirnya membuat malas untuk belajar dan selalu memperbaharui kondisi ruhiyah yang berdampak pada futur tadi.

 

Memahami potensi dan sadar akan itu memegang peranan penting dalam pencapaian tujuan da’wah. Posisikan diri kita pada posisi yang benar dalam barisan da’wah ini. Ketika potensi ini telah dipahami dan diaplikasikan, maka hasilnyapun bisa menjadi sarana da’wah yang bagus ketimbang berda’wah tanpa hasil potensi.

 

Sudah banyak sekali kader yang meraih prestasi gemilang di lingkungannya masing-masing. Betapa banyak di antara kader da’wah kampus yang mencapai IP cum laude, betapa banyak juga mereka yang menjadi pengusaha kaya raya yang ber-afilliasi terhadap Islam, betapa banyak kader da’wah yang berhasil membangun keluarga Islami, di mana setiap anak mereka juga merupakan tonggak-tonggak da’wah di lingkungan masing-masing, yang orang tua-orang tua mereka senang mengikuti majelis-majelis ilmu, betapa banyak juga kader yang menduduki jabatan penting di lingkungan mereka dan berhasil membuat lingkungan mereka subur akan da’wah. Dan semua itu terjadi atas izin Allah lewat potensi diri yang telah diaplikasikan.

 

 

Khutbah ‘Idul Adha 1421 H

 

Ada tiga hal yang patut disorot dalam bagian ini, yang pertama adalah ketaatan pada Allah, yang kedua adalah mendahulukan Allah di atas segalanya, dan yang ketiga adalah keyakinan pada Allah. Setidaknya tiga hal ini yang harus dimiliki hamba yang beriman. Di manapun ia berada, kapanpun itu, dan dalam kondisi seperti apapun, seorang hamba yang beriman haruslah mempertahankan ketaatannya kepada Allah, bukan malah menjual hal itu kepada sesuatu yang murah. Kemudian, sikap ketaatan kepada Allah akan membawa dampak pada sikap mendahulukan Allah di atas segalanya. Saat sikap ini muncul, selayaknya seorang hamba melengkapinya dengan keyakinan kepada Allah. Untuk lebih jelasnya, simak sebuah episode Nabi Ibrahim berikut.

 

Suatu saat Nabi Ibrahim membawa istri dan anaknya (Ismail) yang masih kecil (masih disusui) sampai ke Baitullah di Dauhah, di atas Zamzam, di daerah perbukitan gurun yang terik dan tandus. Di Makkah waktu itu belum ada manusia dan belum ada air. Ia letakkan mereka disana. Ia bekali mereka dengan sekantung kurma dan sekantung air dan segera bergegas pergi. Ummu Ismail (Ibu Ismail) mengikutinya sambil bertanya “Wahai Ibrahim, akan kemana kau pergi meninggalkan kami di lembah ini tanpa siapa-siapa tanpa apa-apa?”. Diucapkannya kalimat itu berulang-ulang, namun ia tak juga menoleh.

 

Akhirnya Ummu Ismail bertanya: “Allahkah yang menyuruhmu melakukan ini?”. Ia menjawab: “Ya”. Ummu Ismail berkata: “Jika begitu, tentulah Ia (Allah) takkan sia-siakan kami”, kemudian ia kembali dan Ibrahim berangkat. Sesampainya di Tsaniyah (jalan tinggi di bukit) tempat mereka tak lagi melihatnya, ia hadapkan wajahnya ke Baitullah, berdoa dengan beberapa kalimat dan mengangkat kedua tangannya: “Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rizkilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.”

 

Lihatlah, betapa lurusnya keluarga ini memandang perintah Allah. Betapa ringannya mereka melaksanakan titah agung ini. Mereka utamakan ketaatan daripada kesenangan pribadi. Dari ketiga permintaan, ternyata yang pertama dimintanya agar keturunannya menjadi penegak shalat, kemudian untuk menopang da’wah ia minta mereka dicintai ummat manusia, barulah permintaan ketiga agar Allah memberikan mereka rezki. Padahal keadaan sangat sulit; tak ada sanak, kerabat bahkan manusia, tak ada air dan sumber makanan. Hanya mereka berdua; seorang perempuan yang baru melahirkan dan bayi kecil yang baru beberapa belas atau beberapa puluh tahun kedepan diangkat menjadi rasul.

 

 

Militansi

 

“Hai Yahya, ambillah (pelajarilah) Al Kitab (Taurat) itu dengan sungguh-sungguh. Dan kami berikan kepadanya hikmah selagi ia masih kanak-kanak.” (QS. Maryam, 19:12).

 

Kita dapat mengambil pelajaran penting dari satu ayat di atas, yaitu militansi. Militansi sendiri dapat dimaknai dengan kesungguhan dan keseriusan. Tatkala Allah memerintahkan kepada Yahya untuk mempelajari Taurat, maka saat itu pula Allah menekankan untuk mempelajarinya dengan sungguh-sungguh.

 

Sungguh-sungguh ini kemudian akan menjadi “ruh” dalam setiap gerak dan kontribusi seseorang, apalagi seseorang itu adalah da’i. Sejarah telah membuktikan bahwa orang yang bersungguh-sungguh akan menyemai hasil yang baik, bukan dengan berleha-leha, berfoya-foya, dan bersantai ria. Sudah banyak pepatah dan nasihat-nasihat yang menegaskan arti militansi atau kesungguhan dalam setiap perbuatan. Bukan karena akan menjadi “ruh” dalam setiap gerakan saja, militansi juga dapat memberi proses dan output/hasil yang baik. Karena kesungguhan akan berdampak pada seluruh bagian dari setiap pergerakan, baik fase inisiasi, fase dinamisasi, maupun fase terminasi.

 

Orang yang bersungguh-sungguh biasanya terlihat dari hasil/output yang ia keluarkan. Jika output itu baik, maka dapat disimpulkan bahwa orang itu bersungguh-sungguh. Dan output yang baik juga akan membawa keberhasilan yang ia ingin capai. Rasulullahpun pernah menyinggung tentang militansi: “Siapa yang bersungguh-sungguh, ia akan berhasil”.

 

Di antara sekian jenis kemiskinan, yang paling memprihatinkan adalah kemiskinan azam dan tekad, bukan kemiskinan harta. Misalnya anak yang mendapatkan warisan berlimpah dari orangtuanya dan kemudian dihabiskannya untuk berfoya-foya karena merasa semua itu didapatkannya dengan mudah, bukan dari tetes keringatnya sendiri. Boleh jadi dengan kemiskinan azam yang ada padanya akan membawanya pula pada kebangkrutan dari segi harta. Sebaliknya anak yang lahir di keluarga sederhana, namun memiliki azam dan kemauan yang kuat kelak akan menjadi orang yang berilmu, kaya dan seterusnya.

 

Demikian pula dalam kaitannya dengan masalah ukhrawi berupa ketinggian derajat di sisi Allah. Tidak mungkin seseorang bisa keluar dari kejahiliyahan dan memperoleh derajat tinggi di sisi Allah tanpa tekad, kemauan dan kerja keras.

 

Tidak ada komentar: